Senin, 13 Januari 2025

CERPEN TRAGEDI IV

MALIN KUNDANG SI ANAK DURHAKA
Sumber: www.cerita.web.id

Dahulu kala, di Minang, Sumatera Barat, hiduplah sepasang ibu dan anak dalam kondisi yang miskin. Ibu itu bekerja apa saja demi bisa menghidupi diri dan anak semata wayangnya yang bernama Malin Kundang.
Meski hidup dalam kemiskinan, Malin tumbuh menjadi anak yang aktif, mudah bergaul, tanggap, dan cepat dalam menguasai keterampilan. Namun seiring waktu, kondisi keluarga itu tidak banyak berubah sehingga Malin yang tidak ingin terus hidup menderita, bertekad untuk merantau, ikut sebuah kapal dagang yang berlabuh di pantai dekat perkampungannya. Niat itu pun kemudian disampaikan kepada ibunya.
“Ibu, Malin ingin mencari pekerjaan yang lebih baik, pergi berlayar bersama saudagar yang Malin temui di tepi pantai kemarin."
“Malin, janganlah kautinggalkan ibumu yang sudah tua ini sendiri! Kalau kau pergi, siapa yang menemani ibu? Hanya kau yang ibu punya, Malin.”
“Tolong izinkan Malin pergi, Bu! Malin lakukan ini juga untuk Ibu, supaya Ibu tidak lagi harus susah payah mencari penghidupan.”
“Ah, kau membuat ibu sulit untuk memutuskan. Ibu tidak ingin kau pergi, tapi ibu juga tidak mungkin menghalangi kau yang ingin mengubah nasibmu, nasib keluarga kita. Maka, baiklah! Aku izinkan kau pergi. Tapi ingatlah satu hal, wahai Malin! Jangan sampai nanti kaulupa dengan ibumu ini! Jangan sampai kaulupa pula dengan tempat kelahiranmu ini!”

Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Dan tahun berganti tahun. Bahkan kapal yang singgah di pantai kampung kelahiran Malin itu pun telah datang dan pergi silih berganti. Namun dari itu semua, tak satu kapal pun yang membawa Malin, atau sekadar membawa kabar tentang dirinya. Kenyataan pahit itu pun membuat Ibu Malin kehilangan semangat hidup, dan mulai sakit-sakitan.
Hingga pada suatu hari, saat kondisi Ibu Malin sudah sangat lemah, berlabuhlah kapal dagang besar di pantai itu, pantai di dekat tanah kelahiran Malin. Kapal itu terpaksa berlabuh lantaran istri saudagar yang juga turut dalam pelayaran itu, hamil dan mengidam air kelapa.
Pada awalnya, saudagar pemilik kapal itu hanya memerintahkan anak buahnya untuk membeli kelapa muda milik salah satu warga. Namun melihat barisan pohon kelapa yang meneduhkan, istri saudagar itu mengajak suaminya untuk beristirahat di bawah barisan pohon kelapa sambil menikmati sejuknya air kelapa di tengah terik matahari siang. Meski pada awalnya menolak dengan alasan harus lekas meneruskan perjalanan yang masih jauh, pada akhirnya saudagar kapal besar itu pun menuruti permintaan istrinya.
Sementara warga kampung yang melihat berlabuhnya kapal besar di pantai mereka, langsung menyambut turunnya orang-orang dari dalam kapal itu. Orang-orang kapal itu terlihat asing oleh mereka. Hingga salah satu anak buah kapal yang menjadi juru bicara menyebutkan bahwa saudagar pemilik kapal besar itu, yaitu Tuan Malin, ingin bersantai di pantai sambil menikmati air kelapa bersama istrinya, barulah warga kampung itu saling tatap tidak percaya.
Malin yang selama ini selalu ditanyakan oleh Ibu Malin kepada setiap saudagar kapal yang singgah di pantai itu, kini disebut sebagai saudagar pemilik kapal besar. Salah satu warga kampung yang menjadi tetangga Ibu Malin pun langsung berlari pulang, hendak memberi tahu Ibu Malin bahwa anaknya yang telah menjadi saudagar kaya raya, kini telah pulang.
Mendapat kabar itu, semangat hidup Ibu Malin yang awalnya hampir mati, seketika seperti bertambah berkali-kali lipat. Sakit yang diderita pun seperti tak terasa lagi lantaran mendengar kabar yang selama bertahun-tahun ia nantikan. Bahkan yang lebih membuat ia senang dan bangga, kini anaknya telah menjadi saudagar kaya raya, pemilik kapal dagang yang besar.

Malin yang tidak ingin keberadaannya diganggu, memberi isyarat kepada anak buahnya untuk membagikan uang kepada warga, dan meminta mereka untuk kembali ke rumah mereka masing-masing. Warga yang mendapat uang secara cuma-cuma itu pun senang bukan kepalang. Namun salah satu orang yang sepertinya menjadi tetua kampung, menolak pemberian itu.
“Tidak, Tuan. Terima kasih. Saya hanya ingin berbicara dengan Tuan Malin barang sekejap. Boleh saya menemuinya sekarang, Tuan?”
“Tuan Malin tidak ingin diganggu. Beliau ingin menemani istrinya menikmati air kelapa di pinggir pantai ini. Kalau kau menginginkan pekerjaan, sampaikan saja padaku!”
“Tidak, Tuan. Bukan itu keperluan saya. Saya juga tidak bermaksud mengganggu. Saya hanya ingin menyampaikan hal penting kepada Tuan Malin secara langsung. Saya mohon, Tuan!”
“Baiklah! Tapi kalau sampai kau membuat Tuan Malin merasa terganggu, aku tidak akan segan menghajarmu.”
“Tidak, Tuan, tidak! Justru ini akan menjadi kabar gembira untuknya.”
Orang yang menjadi juru bicara kapal itu pun lalu menghampiri Malin yang sedang berjalan dengan istrinya di tepi pantai. Beberapa saat kemudian, juru bicara itu pun memanggil tetua kampung, dan memberi isyarat agar segera menyampaikan keperluannya, lalu lekas pergi. Tetua kampung pun langsung mengangguk-angguk, dan berlari kecil menghampiri Malin dan istrinya. Melihat tetua kampung yang tentu ia kenal, Malin berusaha untuk tetap bersikap tenang.
“E... Maaf, Tuan Malin. Tidakkah Tuan Malin ingin menemui ibu Tuan? Bertahun-tahun, ibu Tuan menanggung rindu ingin bertemu dengan Tuan.”
Mendengar itu, wajah Malin pucat seketika. Sementara istrinya, pun tak mampu menahan rasa kagetnya.
“Apakah Kanda masih memiliki ibu? Mengapa Kanda tidak pernah menceritakan itu pada dinda?” tanya istri Malin heran.
Malin hanya bisa terdiam. Ia gelisah, takut kalau istrinya mencampakkan dirinya setelah tahu bahwa ia berasal dari keluarga miskin yang tinggal di perkampungan pesisir. Padahal yang istrinya tahu selama ini, ia adalah saudagar kaya, berasal dari saudagar kaya pula.
Ia berbohong demi menjaga kehormatan kedua orang tua istrinya yang sudah menjadi mitra dagangnya. Ya, waktu itu Malin sudah menjadi saudagar yang bermitra dengan orang tua istrinya. Ia berhasil menjadi saudagar berkat kerja kerasnya. Bahkan ia pun bisa memiliki kapal dagang meski dengan ukuran yang tidak terlalu besar.
Namun dengan status saudagar yang telah ia sandang, ia tetap tidak akan bisa menikahi istrinya. Karena tradisi yang berlaku saat itu, tidaklah pantas seorang saudagar kaya raya berbesan dengan orang yang bukan saudagar kaya raya pula. Menyadari kuatnya tradisi itu, jadilah Malin berbohong demi bisa menikahi wanita yang telah menawan hatinya, putri mitra dagangnya sendiri.
Dan yang membuat ia semakin tidak berdaya, kapal dagang besar yang ia miliki sekarang ini, merupakan hadiah dari orang tua istrinya agar ia lebih mudah dalam mengembangkan perniagaan yang ia usahakan. 
Maka baginya saat ini, ia tak ubahnya seperti sedang mendapati buah simalakama. Kalau ia tidak mengakui ibunya, jadilah ia anak durhaka. Namun kalau ia mau mengakui, ia akan kehilangan wanita yang sangat ia cintai. Tidak hanya itu, kapal dagang besar pemberian orang tua istrinya pun pasti akan diminta kembali.

 “Kanda, mengapa diam? Apa yang terjadi? Apa yang Kanda pikirkan sehingga membuat Kanda berkeringat dingin seperti ini?” tanya istrinya yang makin heran melihat perubahan yang terjadi pada diri Malin.
“Ah, tidak apa-apa, dinda. Kanda hanya jadi teringat kedua orang tua kanda yang sudah lama meninggal.”
Jawaban yang keluar dari mulut Malin akhirnya bisa membuat istrinya kembali tenang. Namun tidak begitu bagi tetua kampung. Ia tersentak seketika mendengar pengakuan Malin yang tidak ia sangka-sangka.
“Tidak, Tuan Malin. Ibunda Tuan masih hidup. Ayahanda Tuan memang sudah lama meninggal sejak Tuan masih kecil. Tapi ibunda Tuan masih ada, masih menunggu kepulangan Tuan,” papar tetua kampung penuh iba.
“Hei! Apa kau tidak dengar ucapan Tuan Malin tadi? Tuan Malin sudah lama tidak memiliki kedua orang tua!” bentak si juru bicara kapal.
“Ah, aku tahu sekarang. Kau hanya pura-pura seperti ini agar Tuan Malin memberimu uang yang banyak, kan?” terka si juru bicara kapal seraya meraih kantung uang yang ia selipkan di ikat pinggangnya.
“Tidak, Tuan, tidak! Saya tidak seperti yang Tuan sangkakan,” rengek tetua kampung yang kedua tangannya menangkup, tanda bahwa dia bersungguh-sungguh memohon pengertian si juru bicara kapal.
Si juru masak yang merasa sudah memperingatkan tetua kampung agar tidak mengganggu tuannya, langsung berusaha menjauhkan tetua kampung dari tuannya. Namun di tengah usaha si juru bicara kapal mengusir tetua kampung, dari kejauhan terdengar suara wanita yang memanggil-manggil Malin.
“Malin! Malin Kundang, anakku! Kaukah itu? Ibu sangat merindukanmu. Kemarilah! Kemarilah! Ini ibumu.”
Seketika, Malin pun kaget bukan kepalang. Keringat dingin di kepalanya keluar semakin menjadi. Sebagai seorang anak, ia sangat ingin berlari merengkuh ibunya. Namun hatinya yang telah diselimuti rasa takut kehilangan istri yang sangat dicintai, membuat kakinya terpaku.
“Itu, Tuan. Itu ibunda Tuan,” ucap tetua kampung seraya menunjukkan tangan ke arah Ibu Malin yang terus berjalan mendekati mereka.
“Oh, Malin! Malin, anakku! Betapa senang hati ini. Akhirnya ibu bisa melihatmu lagi. Ibu sudah sangat merindukanmu. Tidakkah kau juga merindukan ibumu ini, anakku?” keluh Ibu Malin yang kini hanya berjarak beberapa langkah.
Namun juru bicara sangat sigap dalam melindungi tuannya dengan langsung menghalangi Ibu Malin.
“Tunggu, wanita tua! Ada perlu apa kau mendekat?”
“Aku ini ibunya, ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya.”
“Tidak mungkin! Kedua orang tua Tuan Malin telah lama meninggal. Kau jangan seenaknya mengaku-ngaku sebagai ibunya. Atau, kau juga sama dengan laki-laki ini, hanya ingin mendapatkan uang?”
“Aku tidak peduli dengan uang kalian. Malin! Malin, anakku! Siapa laki-laki kasar yang berlagak seperti algojo itu?” tanya Ibu Malin menunjuk si juru bicara kapal.
Ibu Malin pun terus mendekati Malin, ingin segera memeluknya, namun si juru bicara kapal menahan kedua pundak Ibu Malin hingga membuat Ibu Malin meronta.
“Lepaskan aku! Manusia macam apa kau ini hendak menghalangi seorang ibu yang ingin memeluk anaknya sendiri?”
Melihat keharuan itu, tetua kampung pun berusaha melepaskan tangan si juru bicara kapal dari pundak Ibu Malin. Sementara Malin, masih dengan sikap diamnya, tidak berdaya. Namun ketika istrinya yang mulai geram dengan sikap Ibu Malin, dan memintanya agar tidak hanya diam, meluncurlah kalimat dari mulut Malin yang begitu menyakitkan hati ibunya.
“Pergilah kau, wanita tua! Aku bukan anakmu. Aku Malin anak saudagar kaya yang telah lama meninggal. Pergilah! Pergilah sebelum aku mengusirmu dengan kasar!” perintah Malin dengan nada suara tenang namun tegas, dengan pandangan yang kosong lurus ke depan.
Kalimat itu langsung membuat ibunya lemas seketika. Ia jatuh terduduk. Tangan kanannya yang bergetar, diangkatnya dengan telunjuk yang mengarah ke anaknya yang berdiri tepat di hadapannya.
“Tidak! Tidak mungkin aku salah mengenali anakku sendiri. Aku kenal dengan raut wajahmu, tak asing dengan suaramu. Dan aku tidak akan mungkin lupa dengan luka di lengan kirimu, luka bekas goresan pisau yang kau rebut dariku untuk membuat tombak mainanmu dulu.”
“Malin! Sadarlah kau, Malin! Ini ibumu. Aku menjadi saksi atas semua yang diucapkan ibumu. Semua itu benar adanya, Malin. Janganlah kau menjadi anak durhaka yang tidak mau mengakui ibumu sendiri!” imbau tetua kampung yang kini memegang kedua lengan Ibu Malin.
“Hei, kalian! Aku menghormati kalian sebagai orang tua. Tapi sikap keras kepala kalian yang terus memaksa suamiku telah melewati batas. Maka benar kata suamiku, pergilah kalian sebelum kami mengusir kalian dengan kasar!” perintah istri Malin setengah membentak.
“Ini kampung kami. Dan akulah tetua di kampung ini. Kalau kalian tidak suka dengan sikap kami yang berusaha menyadarkan orang sebelum terlambat, maka kalianlah yang seharusnya pergi dari sini, pergi dari kampung ini!” ucap tetua kampung dengan suara bergetar.
Menyadari hal itu, istri Malin pun segera mengajak Malin kembali ke kapal, dan pergi meninggalkan perkampungan pesisir itu. Malin pun mengiyakan dengan bibir yang bergetar menahan tangis. Namun lagi-lagi karena cinta, ia mengabaikan hati kecilnya yang menjerit memohon ampunan dari ibunya.
Sementara Ibu Malin yang tidak ingin berpisah lagi dengan Malin, masih berusaha dengan kesabarannya sebagai ibu yang terus mencoba menyadarkan anaknya. Ibu Malin pun mengiba dengan tangis yang tersedu.
“Malin, anakku! Tegakah kau kembali meninggalkan ibumu yang sudah lama menantikan kepulanganmu? Sungguh tegakah kau tidak mau mengakui ibu yang telah melahirkan dan membesarkanmu?”
Malin seolah tak peduli. Dia terus menuju kapalnya hingga membuat ibunya berteriak-teriak dalam isak.
“Berhenti kau! Berhenti kau, Malin! Kembalilah kau pada ibumu! Kembalilah, Malin! Kembali! Kembali, Malin!”
“Sudahlah, Uni! Sudahlah! Kita pulang saja! Biarlah Tuhan sendiri yang memberi hukuman atas sikapnya itu,” pinta tetua kampung menenangkan.
Namun mendengar kata hukuman Tuhan, Ibu Malin justru bangkit dan bersuara lebih lantang dari sebelumnya.
“Ya Tuhan! Kalau benar dia adalah anakku, hukumlah dia! Kutuklah dia menjadi batu, batu yang lebih keras dari hatinya yang memang telah membatu!”
Malin yang sudah berada di tangga kapal, seketika bergetar mendengar doa ibunya. Namun sekali lagi, ia terus melawan nuraninya. Diperintahkannya seluruh anak buahnya agar segera mengembangkan layar, lalu meninggalkan pantai itu. Terlebih secara tiba-tiba, langit yang semula cerah, kini menjadi kelam. Angin bertiup kencang. Gelombang laut meninggi susul-menyusul.
Seluruh orang di kapal pun menjadi panik. Dan kepanikan itu pun berakhir ketika petir yang seperti cambuk bercabang-cabang, menyambar kapal dagang itu. Tiang-tiang di kapal besar itu pun patah hingga menghantam orang-orang yang ada di bawahnya.
Orang-orang yang tertimpa tiang itu mati seketika. Sementara lainnya yang berhasil menghindar dengan menceburkan diri ke laut, justru pada akhirnya terseret arus hingga meregang nyawa di tangah lautan. Ada pun Malin Kundang, ia berhasil menghindar dengan menggulingkan badannya ke haluan kapal.
Namun baru saja ia berdiri, cahaya dan suara kilat kembali menyambar kapal, tepat mengenai dirinya. Tubuhnya terbakar seketika, hangus, hitam. Namun dalam kondisi jasad yang seperti itu, ternyata ia masih bisa bergerak-gerak. Jasad itu lalu tampak membungkuk, dan kemudian kaku dalam posisi bersujud.

Badai telah reda. Tak ada lagi petir. Tak ada lagi angin dan gelombang kencang. Bangkai kapal dagang yang besar itu pun tak lagi tersisa di pantai. Semua telah hanyut terseret arus laut.
Namun di salah satu sudut pantai yang dipenuhi batu karang, beberapa orang tampak terheran-heran melihat satu batu karang yang berbentuk aneh karena menyerupai tubuh manusia yang sedang bersujud. Bahkan yang lebih aneh, batu itu mengeluarkan suara degup yang menyerupai degub jantung manusia.
Temuan itu pun akhirnya disampaikan kepada tetua kampung. Menyadari hal itu seperti ada kaitannya dengan tragedi yang menimpa Malin Kundang, tetua pun mengajak Ibu Malin untuk melihat batu itu secara langsung. 
Sesampainya di sana, Ibu Malin tertegun. Ia menangis. Bibirnya bergetar mengucapkan sesuatu sambil mengelus batu bersujud itu di bagian kepalanya.
“Aku mengampunimu, anakku,” ucapnya lirih yang seketika membuat suara degub itu berhenti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CERPEN TRAGEDI IV

MALIN KUNDANG SI ANAK DURHAKA Sumber: www.cerita.web.id Dahulu kala, di Minang, Sumatera Barat, hiduplah sepasang ibu dan anak dalam kondisi...