Aku dan FBI
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih,
lagi Maha Penyayang. Hanya kepada-Nyalah aku memohon perlindungan dari segala
bentuk godaan setan yang terkutuk agar kiranya penulisan memoar ini tidak
melenceng dari tujuan awal, menyambung tali silaturahmi.
Segala puji bagi Alllah, Tuhan semesta alam atas
segala nikmat dalam kehidupan ini, lebih-lebih nikmat ditakdirkankannya aku pernah
mengenal, bertemu, bercanda, berdiskusi, berdebat, dan bahkan bersitegang
dengan angkatan 14 yang memiliki falsafah mampu melampaui batas
ketidakmungkinan, FOURTEEN BEYOND IMPOSSIBLE.
Kronologi. Itulah kata kunci tulisan ini. Karena
dengan menyebutkan kronologi, segala sesuatu (biasanya) bisa menjadi jelas. Demikian
pun dengan memoar kecil ini. Dengan menyebutkan kronologinya, semoga bisa
ditangkap isinya setelah dibaca. ^_^
Kronologi penulisan
Awal Desember 2013, termuatlah memoarku bersama
SWAT, angkatan 17 Smaridasa di blog ini. Namun karena menggunakan media blog, tentu
tak hanya SWATers yang bisa membacanya. Semua orang yang mengaksesnya pun bisa,
termasuk Adelia Chikita Permata Sari Tuing-tuing, salah satu FBI mania. Dialah
yang kemudian meminta dan “memaksaku" untuk segera membuat dan memuat memoar
bersama FBI di blog yang sama.
Jumat, 10 Januari 2014, sekitar pukul 23.15, dia
memberi kabar bahwa tanggal 20-21 Januari 2014, dia akan ke Surabaya. Maka
sebagai mahluk sosial, memintalah diriku ini agar dia bersedia mampir untuk sekadar
temu kangen dan berbagi kabar. Lalu dia pun mengajukan syarat, permintaan itu
akan dia penuhi jika tulisan ini sudah termuat di blog.
Maka seperti tak ingin membuang kesempatan,
selesai ber-sms ria dengannya malam itu, setelah tercipta kesepakatan yang
dimaksud di atas, mulailah diriku merangkai kata demi kata agar tercipta memoar
yang utuh bersama FBI. Namun pepatah kejam, untung tak dapat dikejar, malang
tak dapat ditolak, menimpaku. Laptop tercinta tiba-tiba mati.
Dalam hati pun bertanya-tanya, pertanda apakah
gerangan? Disuruh istirahatkah diriku yang waktu itu memang dalam kondisi yang lumayan
lelah? Harus ganti laptopkah mengingat laptop yang ada masih berstatus inventaris
sekolah? Tak pantaskah diriku membuat memoar tentang angkatan yang begitu luar
biasa? Atau, tak perlukah aku memenuhi syarat pertemuan itu karena memang sudah
seharusnyalah dia datang dengan keihklasan hati?
Ah, apa pun itu, yang ada di dalam kepalaku waktu
itu hanya satu, segera menyelesaikan tulisan ini, atau akan menjadi beban tugas
selain tugas kuliah yang waktu itu sudah menumpuk. Hiks…. Maka, karena sepertinya tidak
ada tawaran lain, dengan keterbatasan pengetahuan tentang dunia perlaptopan, aku
pun mencoba menghidupkan kembali sang laptop tercinta.
Namun hasilnya, Mr. laptop hanya bisa bertahan
selama beberapa menit. Setelah itu, mati dan tidak mau dihidupkan kembali
dengan cara apa pun. Aaaa….h! Hiks…. Selang beberapa hari, terkuaklah bahwa
sumber kerusakannya pada hard disc, yang berarti semua data yang tersimpan
tidak bisa dibuka lagi. Huaaaaaaa……
Kronologi Awal Kebersamaan
Tahun pembelajaran 2010/2011 merupakan tahun
pembelajaran awal bagi FBI. Waktu itu, seperti biasa, aku memandu pembelajaran
semester III dan IV, alias kelas XI. Namun seperti tahun sebelumnya, dengan
media teater, aku bisa mengenal beberapa personel kelas X yang waktu itu mendaftarkan
diri dalam ekskul teater.
Dan seperti biasa pula, kesan pertama yang
diberikan begitu luar biasa, lebih dari tiga puluh FBI mania yang masih
imut-imut, sok bergabung dalam ekskul teater. Dan seperti yang sudah menjadi
rahasia umum, pada umunya, alasan mereka bergabung bukanlah ingin murni
berteater, melainkan agar bisa terbebas dari kegiatan malam di asrama.
Karena itu, aku pun yakin, fenomena itu tidak
akan bertahan lama. Alam pasti menyeleksi eksistensi mereka. Dan
terbukti, setelah hampir satu tahun, daftar nama FBI mania yang tetap aktif
dalam lingkaran tetaer tak lebih dari sepuluh orang. Lebih-lebih, waktu itu ada
penggarapan karya untuk lomba musikalisasi puisi. Sehingga personel lainnya yang
tidak terlibat, seperti hidup enggan, mati pun tak mau.
Piala Pertama
dan Satu-satunya
Dari hasil seleksi untuk tim lomba muspus tingkat
Kota Samarinda yang diadakan di SMAN 3 Samarinda, terpilihlah lima personel FBI
yang waktu itu masih imut-imut: (1) Iir, (2) Tiwi, (3) Mila, (4) Zayu, dan (5)
Aisyah. Namun selain mereka, paling tidak ada dua orang lagi yang sangat
berperan dalam persiapan lomba tersebut, (1) Dipo TNT sebagai dokter gitar, dan
(2) Sandi sang Ketan FBI sebagai dokter seruling (recorder).
Dengan persiapan singkat namun penuh liku, tampillah
kelima bidadari FBI itu di atas panggung lomba. Grogi, jelas terlihat di
wajah-wajah mereka yang belum memiliki pengalaman tampil dalam lomba muspus sama
sekali. Iir sang gitaris kelihatan bermasalah dengan tangannya yang pasti
berkeringat kalau gugup. Tiwi yang entah karena grogi atau kurang persiapan, tiupannya
menghasilkan lengkingan yang super fals.
Namun secara keseluruhan, penampilan mereka tidak
mengecewakan. Bahkan secara materi lagu, lagu mereka (karya Iir) terdengar paling
bagus di antara peserta yang lain. Sayang, mereka hanya kalah di kostum yang
sama sekali tidak ada hubungannya dengan tema puisi yang dipilih. Bayangkan,
mereka menggunakan kemeja bermotif kotak-kotak dengan lengan panjang yang
digulung setengah lengan, namun lirik puisi yang mereka bawakan bertemakan
cinta, dengan nada lagu yang mendayu-dayu.
Hasilnya, mereka kalah dari dua tim yang secara
kostum sangat mendukung. Ya, mereka meraih juara tiga. Tapi tahukah kau, kawan?
Piala dari lomba itu menjadi piala pertama yang diraih Teater iO Smaridasa. Dan
sampai sekarang, belum ada piala lagi yang bisa diraih. Itu artinya, piala yang
mereka dapatkan merupakan piala pertama dan satu-satunya. Padahal, waktu itu
mereka masih kelas X. Tepuk tangan dulu, do….ng! ^_^
Bertemu di Kelas,
ternyata Garang
Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Tahun
pembelajaran 2011/2012 dimulai. FBI memasuki semester III. Namun karena jumlah
kelas yang fenomenal ketika itu, yaitu tujuh lelas, secara hukum administrasi
sekolah, dalam satu mata pelajaran yang terdiri dari empat jam pertemuan dalam
satu pekan, tidak boleh dipandu oleh satu guru. Maka imbas dari aturan itu, aku
hanya memandu lima kelas: XI IPA B, C, D, E, dan F.
Seperti biasa, pembelajaran yang santai dan
terbuka, dengan sentuhan soal-soal yang menuntut kejelian, menjadi sajian khas aku.
Namun di luar dugaan, ada tiga siswa yang berani protes keras ketika pembahasan
soal berlangsung. Dua orang di antaranya dari kelas B, yaitu Yuni dan Bela.
Waw, garang! Sementara satu lainnya merupakan pelaku debat yang tidak asing,
Roy dari kelas D.
Namun bukan orang teater namanya kalau sampai kalah
dalam hal improvisasi untuk membela diri. Maka hasilnya, dari sekian banyak
perdebatan yang terjadi, sepertinya aku masih lebih unggul sedikit. Ya,
sedikit, mereka yang lebih banyak. Huuuuu….
Zulva Fachrina,
Sang Ahli
Seperti biasa, setiap materi pembelajaran yang
ada, aku selalu berusaha memberikan materi yang aplikatif. Salah satu di
antaranya yaitu resensi. Kawan, secara komposisi, materi ini sungguh sangat
sepele. Namun kalau kita mau melihat filosofinya, dengan menguasainya, ada segudang
manfaat yang bisa diperoleh.
Zulva, misalnya. Ia memang terlahir dengan bakat
akademik yang begitu luar biasa. Bakat itu pun makin sempurna karena ia
memiliki kegemaran membaca yang begitu luar biasa pula. Dari itulah, kemampuan
menulisnya pun seperti tidak diragukan lagi.
Maka ketika ia mengerjakan tugas resensi, aku pun
terpana. Betapa lain karyanya. Ia tak seperti siswa. Tulisannya tak serupa
dengan tulisan siswa pada umumnya. Memang, kala itu ia meresensi film Harry
Potter kesukaannya. Sehingga secara logika, ia tak kan mengalami kendala dalam
mengurai sisi demi sisi tentang film itu karena dia memang suka.
Meski begitu, tetap saja karyanya bukanlah karya yang
biasa. Maka ketika ada undangan untuk mengikuti kompetisi pemilihan duta baca
pelajar SMA sederajat se-Kaltim tahun 2011, meski awalnya dia tidak mengikuti
seleksi di sekolah, aku pun mencoba menyindirnya bahwa sebenarnya dia punya
kemampuan yang sayang kalau tidak diberdayakan. Dia pun mau dengan hanya
berkata, “Iya, deh, Pak. Nanti saya coba. Tapi ndak janji.” Enteng banget, kan? ^_^
Setelah naskah resensinya selesai dibuat, benar
saja, lagi-lagi caranya melihat dan menilai sebuah karya, begitu berbeda. Dia
seperti sudah terbiasa meresensi puluhan, ratusan, bahkan ribuan karya.
Kalimatnya begitu mengalir. Sudut pandangnya dalam menilai begitu mengena. Maka
setelah naskah itu dikirim ke panitia lomba, dari tiga wakil Smaridasa, dialah
satu-satunya yang masuk sepuluh besar Kaltim, dan berhak mempresentasikan
naskahnya di hadapan lima juri.
Latihan presentasi pun dijalani. Sayang, cara dia
presntasi terlalu cepat. Aku pun takut kalau hal itu bisa menjadi nilai kurang
di mata juri. Namun karena tidak ingin terlalu membebani, aku pun hanya bisa
memberi masukan tanpa kesan mendikte, semoga. ^_^
Setelah dia presentasi di ruang tertutup, aku pun
mencoba menanyakan hasilnya. Ternyata benar, menurutnya, dewan juri sedikit
kurang nyaman dengan cara presentasinya yang terlalu cepat. Namun dalam hati, aku
yakin bahwa dia bisa masuk tiga besar.
Saat yang mendebarkan pun tiba, pengumuman. Namun
seperti biasanya dalam sebuah perlombaan, juri yang mengumumkan tidak langsung
menyebutkan nama-nama para pemenangnya, tetapi terlebih dahulu memberikan
prolog yang begitu panjang. Salah satu penyampaiannya yaitu tentang cara
presentasi yang baik. Sang juri pun menyinggung teknik Zulva yang terlalu cepat
dalam berpresentasi. Alah, Mak! Tentu saja itu membuat kami ciut nyali. Hiks….
Namun setelah masuk pada saat pengumuman
nama-nama sang juara yang membuat aku makin panas dingin, mulai dari terbaik
keenam sampai terbaik kedua, namanya tak tersebutkan. Mungkinkah benar dia
menjadi peserta terbaik? Padahal ketika berprolog, bukankah sang juri menganggap
cara presentasinya terlalu capat?
Dan akhirnya…, setelah memejamkan mata dan menahan
napas, tersebutlah nama Zulva Fachrina sebagai Duta Baca Pelajar Kaltim tahun 2011.
Bahkan, sang juri pun menyampaikan rasa kagumnya terhadap tulisan Zulva.
“Tulisan Zulva tak ada bedanya dengan tulisan seorang ahli resensi,” begitulah kesan
sang juri.
Horeee…! Selamat, ya, Cu….p! Good job! ^_^
Juara I Lomba CCBI
Akhir Oktober 2011, Smaridasa mendapat undangan
perlombaan cerdas cermat bahasa Indonesia (CCBI). Aku pun mendapat tugas untuk
menjadi pembimbing lomba tersebut. Karena ingin menerapkan prinsip keterbukaan,
perekrutan peserta lomba itu pun dilakukan secara terbuka, namun hanya untuk
kelas XI dua orang, dan kelas X satu orang.
Singkat cerita, setelah melakukan seleksi di
warjok, sore itu terpilih dua manusia luar biasa dari kelas XI, alias FBI, yaitu
Tiwi dan Yuki. Sementara dari kelas X, terpilihlah Firel. Setelah itu, strategi
pembagian materi pun dilakukan. Bahkan untuk mematangkan persiapan menghadapi
perlombaan, mereka rela berlatih tanpa mengenal waktu. Ke mana pun selalu bawa
buku hafalan teori.
Hasilnya pun tak sia-sia. Mereka mampu melewati
babak penyisihan dengan skor yang sangat tinggi. Demikian pula pada babak
semifinal, mereka mampu melibas lawan-lawan mereka dengan selisih skor yang
tinggi. Padahal, salah satu lawan mereka yaitu SMAN 3, salah satu sekolah
unggul di Kota Samarinda.
Pada putaran final, lawan terberat mereka yaitu
SMKN 1 Samarinda. Namun dengan nyali yang begitu tinggi, mereka sama sekali
tidak gentar. Dan seperti telah menguasai teori dengan sepenuhnya, sejak babak
penyisihan hingga final, mereka selalu mampu menjawab pertanyaan wajib dengan
skor paling tinggi.
Namun memasuki sesi pertanyaan rebutan, skor
mereka tersamai oleh regu SMKN 1. Mereka pun tak mau kalah. Meski terkadang
salah dan dikurangi nilainya, pada akhirnya mereka berhasil memenangkan lomba
itu. Ya, mereka menjadi juara I lomba CCBI yang waktu itu pertama kali diadakan
oleh Himpunan Mahasiswa Bahasa Indonesia Unmul. ^_^
Hati Mulia pada Masa
Tersulit
Memasuki pertengahan November 2011, dua guru
bindo yang lain mendapat tugas melanjutkan pendidikan di jenjang S-2. Sebagai
bentuk konsekuensinya, tugas mereka di kelas pun harus diambil alih. Maka dari
16 kelas yang ada (4 kelas X, 7 kelas XI, dan 5 kelas XII), aku terpaksa hurus pontang-panting
mengisi jam bindo yang ada. Gila rasanya! Benar-benar gila!
Kalau masuk kelas X, mereka bilang, “Abaikan kami
aja, Pak! Materi kami masih enteng. Kasihan kakak-kakak kelas XI dan kelas XII.”
Kalau masuk kelas XI, “Kasihan yang adek-adek, Pak, mereka masih perlu
perhatian. Yang kelas XII juga, Pak, mereka kan mau UN, jadi harus
diprioritaskan.” Sementara kalau masuk kelas XII, “Kami sudah besar, Pak, bisa
belajar mandiri. Persiapan UN itu bisa cukup latihan mengerjakan soal-soal UN.”
Aku pun terpana. Mulia betul hati mereka. Betapa
besar perhatian mereka pada adik atau pun kakak tingkat mereka. Dan yang
membuat aku melambung karena merasa diperhatikan, mereka dengan kompak
mengatakan, “Ih, Bapak pasti capek ngajar ke sana-kemari. Bapak istirahat aja. Kasih
aja kami tugas, selesai deh kewajiban Bapak.”
Duet Adit dan
Fendi
Selain mengajar di kelas, ketika itu aku pun
mendapat kepercayaan untuk menjadi salah satu personel staf kesiswaan. Sehingga
secara otomatis, tiap kali ada kegiatan yang berkaitan dengan kesiswaan, aku
pun terlibat.
Awal Desember 2011, tim kesiswaan memandu
anak-anak yang tergabung dalam panitia perayaan HUT XIV Smaridasa yang diketuai
oleh Adit. Sepanjang sejarah Smaridasa yang aku ketahui, parayaan HUT kala itu tergolong
besar karena di dalamnya ada beberapa perlombaan yang berskala Kaltim.
Namun dengan kerja keras para panitia yang
didominasi FBI, acara tersebut bisa berjalan dengan lancar dan sukses. Dan
momen yang tak kan terlupakan yaitu pengorbanan Fendi selaku ketua OSIS kala
itu. Meski masih dalam suasana libur Natal, dia yang sebenarnya masih ingin di
rumah untuk merayakan Natal bersama keluarganya, ternyata rela kembali ke
sekolah hanya untuk menjaga stan pendaftaran lomba-lomba. Luar biasa, bukan? Tepuk
tangan untuk Fendi…..! ^_^
Penolong yang Memisahkan
Aneh. Dari sekian banyak kolega guru bindo, baik
yang sengkatan, kakak tingkat, atau pun adik tingkat, semua yang dihubungi
untuk kemudian diminta mengisi kekosongan guru bindo di Smaridasa, mengaku tidak
ada yang bisa dengan berbagai alasan. Ada yang sudah merasa nyaman mengajar di
sekolah asal. Ada yang terhalang faktor jarak. Ada yang tidak mau karena hanya
sementara. Dan yang paling banyak, mereka mengaku tidak cukup nyali untuk mengajar
di sekolah yang siswanya cerdas-cerdas. Ah, ada-ada saja!
Untunglah, setelah sekian waktu sendiri
menghadapi masa-masa sulit, datanglah satu guru muda dengan semangat belajar
yang tinggi. Dialah Bu Nuriana Indah Sari yang akhirnya meringankan beban
mengajar. Namun di sisi lain, dia pulalah yang memisahakan kebersamaan aku
dengan FBI. Karena dari tiga angkatan, ternyata dia ditugaskan untuk fokus
mengajar FBI. Hiks….
Kisah Calon
Orang-orang Besar
Seperti tanpa mengenal kompromi, waktu pun terus
bergulir tiada henti. Hingga pada akhirnya, masa keterpisahan pun berakhir. FBI
memasuki tahun pembelajaran terakhirnya di Smaridasa. Itu artinya, kami kembali
bersama-sama di kelas. Bahkan untuk saat itu, tak ada lagi kelas yang tidak
terpandu secara langsung. Dari kelas A, B, C, D, E, F, dan IPS, akulah yang
memandu pembelajaran bindo di kalas.
Dan tahukah kau, kawan? Pada tahun terakhir
mereka inilah warna-warni memori terpahat begitu indah. Banyak sukanya, namun
tak sedikit pula dukanya. Ada tawa, ada pula rasa tak suka. Semua berpadu
menjadi satu.
Monde, Rama, Akbar, Arphan, Yedho, Leon dan
beberapa pejantan lainnya, kerap menjadi lawan main dalam drama kamtibmas.
Mereka berperan sebagai tokoh protagonis yang pada awal cerita masih tersisipi
ruh antagonis. Namun itulah hidup. Berbagai konflik cerita yang terbentuk pada
akhirnya menjadi penggalan kisah yang bergitu indah untuk dikenang.
Penggalan-penggalan kisah itu mampu menghadirkan senyum manis kala rindu
bertamu.
Dan aku sangat yakin bahwa kelak mereka akan
menjadi orang-orang hebat. Bukan karena peran yang itu. Namun karena keberanian
mereka dalam menunjukkan jati diri itulah, yang biasanya menjadi modal calon
orang-orang besar.
Mabok BABI
Ada yang istimewa ketika FBI berada di tahun
terakhir mereka. Dengan pertimbangan sederhana bahwa aku menjadi salah satu pemandu
pembelajaran mereka yang kala itu sudah kelas XII, aku pun ditunjuk menjadi
salah satu wali kelas mereka. Dua puluh manusia luar biasa pun menjadi korban
atas putusan itu. Karena, menjadi wali kelas itu hakikatnya tidak mudah, harus
siap lahir dan batin.
Kalau ada siswa yang tidak masuk lebih dari dua
hari karena sakit, harus dijenguk. Kalau ada siswa yang bermasalah, harus bisa menjadi
pemberi jalan keluar, atau paling tidak bisa jadi pendengar yang baik untuk
mereka. Kalau ada yang kencing atau BAB di kelas, harus telaten nyebokin dan
ganti popoknya. Lho!!!
Tapi semua itu hanya teori. Karena pada
kenyataannya, bukan peran aku yang menonjol sebagai wali kelas, melainkan
justru merekalah yang menunjukkan bakti yang begitu luar biasa. Karena
kesabaran merekalah, Mabok BABI, Majalah Tembok - Baiknya Anda Baca Ini, yang
sejatinya merupakan tanggung jawab guru kelas, bisa eksis walau hanya satu
edisi. Tampilannya begitu menarik. Meski bukan tiga dimensi, pernak-perniknya
mampu membuat mata sulit untuk jenuh melihatnya.
Maka kepada orang-orang yang berjasa atas itu
semua yang tidak mungkin kalau disebutkan satu per satu, aku mengucapkan terima
kasih. Semoga kebaikan kalian berbuah kemudahan pada tiap urusan kalian. Ayo bilang amin! Ami…n! ^_^
Balada Sang
Pembela Kebenaran dan Keadilan
Himpunan Mahasiswa Bahasa Indonesia Unmul kembali
mengadakan lomba CCBI. Smaridasa pun kembali diundang. Berniat ingin
mempertahankan juara I, strategi “licik” pun diambil. Dua wakil Smaridasa pada
tahun sebelumnya, Tiwi dan Yuki, kembali menjadi starter. Ada pun pengganti
Firel yang waktu itu sudah pindah ke Bandung, teman seangkatannya, Eka Rizky,
alias Emey.
Persiapannya pun tentu tidak seribet tahun
sebelumnya. Apalagi, ternyata Tiwi dan Yuki masih memiliki catatan teori yang
terlihat sedikit lucuh karena saking seringnya dibuka dan dibaca. Ada pun Emey,
dia yang tipikal pekerja keras, tentu bisa dipercaya dan tak membuat khawatir.
Optimisme bisa mempertahankan juara pun makin besar.
Namun medan lomba tahun itu tak sepenuhnya sama
dengan tahun sebelumnya. Para pesaing dari sekolah lain makin matang dalam
melakukan persiapan. Namun di lain sisi, panitia dan juri pun tak luput dari
kekhilafan dalam merumuskan soal dan jawaban. Maka sebagai siswa berprestasi
lagi menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, Tiwi tak berdiam diri.
Dibantahnya jawaban juri yang di matanya salah. Hingga debat sengit pun
terjadi. Dan hasilnya, lagu klasik, jawaban juri benar, tidak bisa diganggu
atau pun digugat. Huuuuuu……
Namun layaknya alur film Bolywood, yang benar
pasti menang. Demikian pun mereka.
Setelah bertarung babak demi babak, sesi pertanyaan wajib atau pun
rebutan, mereka bisa melewatinya dengan baik. Yes!!! Meski hanya skala Kota
Samarinda yang di mata sekolah kurang berharga, tiga bidadari Smaridasa tadi
berhasil membawa pulang piala juara I untuk kali kedua. I’m so proud of you,
girls! ^_^
Piagam dalam
E_mail
Sepanjang pengalaman aku bernaung di Smaridasa,
sepertinya sulit menemukan sosok siswa (putra) yang hasil belajarnya bagus
meski di lain sisi, dia begitu aktif dalam kegiatan organisasi siswa. Namun untuk
FBI, aku berani angkat topi.
Adit, itulah dia orangnya. Meski dikenal begitu
aktif dalam berbagai kegiatan organisasi siswa di Smaridasa, hasil belajarnya nyata
tidak mengecewakan. Prok, prok, prok!!! ^_^ Tak hanya itu, dia pun masih
sempat-sempatnya mengasah kemampuan menulisnya dengan mengikuti lomba menulis
esai di internet.
Sampai pada suatu hari, datanglah dia untuk
berkonsultasi. Maka sebagai gurunya yang harus tetap menjaga wibawa, aku pun
melakukan improvisasi tingkat tinggi dengan berusaha “nyambung” dengan berbagai
hal yang dikonsultasikannya. Dengan gaya sok-sok-an, aku pun menyampaikan
trik-trik dalam menulis esai.
“Esai itu mengupas suatu masalah, Dit. Namun di
bangian akhir, ada tawaran solusi yang sifatnya baru dan logis. Kalau kamu bisa
kayak gitu, peluang menang insyaallah ada.”
“Iya, Pak”
Ah, Adit, sehebat apa pun dia, ternyata nurut
saja meski dibohongi. Ckckckc….
Singkat cerita, esainya tentang lingkungan hidup
masuk sepuluh besar nasional dengan bukti piagam dari panitia. Sayang, karena
tidak sampai masuk tiga besar, dia pun eggan untuk datang pada acara penyerahan
piagam itu. Maka, terpaksa piagam yang desainnya begitu indah itu, hanya
dikirim ke emailnya. Hiks…..
Guru PKn pun
Bisa
Entah karena kultur sekolah atau sudah menjadi
gen FBI yang selalu berusaha melampaui batas ketidakmungkinan, semangat
mengikuti lomba benar-benar tertanam dalam diri mereka. Hingga pada suatu
ketika, tersebutlah lomba menulis esai dan cerpen di internet. Lomba itu
berskala nasional, skala yang selalu menjadi tolok ukur kehebatan
sekolah-sekolah dalam berprestasi.
Maka bermodal pengalamannya dalam mengikuti lomba
menulis esai, Adit kembali beraksi. Namun kali ini, dia tidak sendiri. Ada
Ummi, si kutu Kaltim Post, yang ternyata juga tertarik mengikuti lomba itu.
Sedangkan untuk lomba menulis cerpen, Cirry, si gadis penuh bakat menulis
prosa, telah siap dengan karyanya.
Namun karena keterbatasan satu dan lain hal,
hanya Adit dan Ummi-lah yang melakukan konsultasi, Seperti biasa, akting sok
tahu menjadi solusi. Dan seperti biasa pula, ternyata mereka pun hanya bisa
meng-iya-kan. Dan setelah menjalani serangkaian proses penyuntingan, pada
akhirnya, terkirimlah naskah esai mereka yang bertemakan peran pemuda dalam
pembangunan, dengan uang pendaftaran Rp25.000,00.
Masa penantian pengumuman hasil lomba pun menjadi
sesuatu yang bersensasi. Lebih-lebih, pihak panitia dengan semena-mena
mngundurkan jadwal pengumuman itu. Namun rasa kecewa mereka akhirnya terbayar
mahal. Bak tiga serangkai yang selalu mengisi kekosongan satu sama lain, mereka
secara berurut menjadi pemenang dalam lomba itu. Wuiiiih, keren, Gan, serasa
mimpi! Adit juara I, Ummi juara II, Cirry juara III.
Namun sayangnya, penyerahan hadiah harus di
tempat lomba, yaitu di Bandung, Jawa Barat. Mereka pun bingung, merasa salah
kalau sekolah tidak dilibatkan dalam hal biaya transportasi dan kawan-kawan.
Maka, berkonsultasilah mereka pada pihak sekolah. Hasilnya, mereka girang
karena akhirnya mendapat bantuan dana.
“Tapi, kalian harus didampingi guru,” ujar kepsek.
“Siapa guru pembimbing lomba kalian?” tanyanya.
“Pak Fadil, Pak,” jawab mereka kompak.
“Oh, ya. Kalau gitu, kalian didampingi Pak Fadil.”
Mendengar jawaban itu, wuiiiih, aku yang ikut
menghadap, tentu senyum-senyum karena terbayang akan terbang ke Bandung, salah
satu kota di Indonesia yang aku ingin mengunjunginya secara khusus.
“Di mana lombanya?” tanya sang kepsek kembali.
“Di Bandung, Pak,” jawab mereka, tetap serempak.
“Oh, di Bandung, yah? Wah, kebetulan ada guru PKn
kita yang lagi di sana. Kalau misalnya kalian didampingi guru PKn, ndak
masalah, kan? Kalau Pak Fadil, saya yakin bisa paham karena ini menyangkut efesiensi
penggunaan anggaran sekolah. Ya, kan, Pak Fadil?”
Petualangan
Remedi si Pemuda Tampan
Karena berada di tahun terakhir, mereka pun
mendapat gemblengan guna menghadapi UN. Jam tambahan pun menjadi pilihan
sekolah, seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku yang menjadi salah satu pemandu
mapel UN, pun harus sebisa mungkin selalu hadir sesuai jadwal, baik pada pagi,
siang, sore, atau pun malam hari.
Sampai pada suatu hari yang begitu indah, datanglah
aku ke sekolah pada malam hari untuk menunaikan tugas. Waktu itu masuk di kelas
B. Menjelang berakhirnya jam pembelajaran, kepala terasa pusing, bahkan
pandangan berkunang-kunang.
Setelah kelas B meninggalkan kelas, bersandarlah aku
di kursi kelas dengan tingkat kesadaran yang mulai menurun. Di saat kritis
itulah, datang pemuda tampan yang bermaksud melakukan remedi. Dialah M. Akbar Mulyadi.
Karena memang merasa sudah tidak kuat lagi, aku
pun meminta padanya agar melakukan remedi kali lain. Namun dia malah merengek
dengan dalih bahwa dia sudah siap saat itu. Sehingga kalau ditunda, bisa jadi
dia malah tidak siap lagi.
Tanpa pikir panjang, aku pun mengajukan tawaran diplomasi
bahwa nilainya sudah baik tanpa melakukan remedi asalkan dia lekas pergi dari
peredaran. Karena yang terpenting saat itu, hanyalah ketenangan di tengah
kesadaran yang kian kritis. Namun bukannya senang, dia malah menganggap tawaran
itu hanya sebuah lelucon sehingga dia tetap ngotot ingin remedi saat itu juga.
Kawan, kalau saja saat itu ada samurai atau pun
senjata api, mungkin aku sudah menggunakannya untuk menggiring pemuda tampan
itu menuju peristirahatan terakhirnya. Namun karena tidak ada apa-apa, aku pun
hanya bisa bersumpah,
“Demi Allah, nilaimu sudah baik tanpa remedi.”
“Ah, Bapak bercanda. Ayolah, Pak! Saya mau baikin
nilai ini… Saya mau berubah.”
“Iya, kamu udah berubah. Nilaimu juga sudah baik.
Bapak anggap kamu sudah remedi.”
“Ah, itu kan cuma anggapan Bapak! Kenyataannya
kan belum.”
“Uma, a…i! Harus dengan cara apa meyakinkanmu
kalau bapak ini lagi sakit? Ini bapak udah mau pingsan. Masa kamu ndak lihat
muka bapak yang pucat begini???”
Setelah bernegosiasi dengan cukup alot, pemuda
tampan itu pun mau meninggalkan kelas meski harus berkali-kali meyakinkan,
“Bener lho, Pak. Bapak sendiri yang bilang kalau saya
sudah remedi. Jadi, nanti saya ndak usah remedi lagi, kan?”
Akting Muntah di
Depan Kelas
Kepergian pemuda tampan dari ruang kelas bukan
berarti mengakhiri penderitaan diri yang makin di ujung tanduk. Sendirian di
ruang kelas dengan kondisi setengah sadar, membuat aku makin tidak keruan. Yang
paling menakutkan bukanlah pingsan sendirian di kelas, melainkan istri di rumah
yang tak ber-HP, pasti tidak akan tahu apa-apa.
Maka dengan sempoyongan, aku pun berusaha keluar
kelas untuk sekadar memperlihatkan diri pada orang lain. Beruntung, di ruang
sebelah masih terdengar suara siswa berdiskusi. Jadi kalau pun terpaksa aku
sampai pingsan, ada orang lain yang tahu.
Kawan, bisakah kau bayangkan kondisi orang yang
sudah mau pingsan? Keringat dingin mengalir seenaknya sendiri, pandangan mata
seperti berkunang-kunang, dan langkah kaki bagai melayang-layang? Seperti itulah
aku kala itu. Ah, rasanya mungkin lebih enak pingsan daripada proses menuju
pingsan itu sendiri.
Namun itu belum seberapa parah, kawan. Kalau
hanya sakit badan, mudah saja disembuhkan. Kalau hanya sakit perasaan, pun
mungkin bisa disembuh-sembuhkan. Tapi kalau sudah badan dalam kondisi sakit
hampir pingsan, lalu didera pula dengan siksaan perasaan karena dicurigai oleh orang
yang tidak asing lagi dalam kehidupan, pasti akan menimbulkan rasa sakit yang
sesakit-sakitnya, bukan?
Mau tahukah kau tentang kisah yang itu, kawan? Baiklah,
begini ceritanya. Betapa senangnya aku mengetahui di ruang sebelah masih ada
empat orang yang masih mendiskusikan sesuatu sehingga meski sudah masuk jam
istirahat di asrama, mereka masih bertahan di sekolah.
Dalam hati, aku pun yakin bahwa keberadaan mereka
memang atas kehendak-Nya. Ya, malam itu mereka sepertinya memang ditakdirkan
menjadi malaikat penolong. Maka tak menunggu lama, segeralah masuk aku ke ruang
kelas, tempat mereka berdiskusi.
“Aduh, Bapak mau pingsan. Tolong air putih, dong!”
seru aku, berharap mereka segera memberi pertolongan, paling tidak memberi air
minum karena tiba-tiba saja tenggorokan terasa begitu kering.
Seiring kondisi badan yang kian melemah, secara
spontan, aku pun menggabungkan dua menja untuk dijadikan tempat berbaring. Dengan
tubuh yang lemah gemetar, aku pun merebahkan badan di atas meja. Namun di tengah
rintih diri menahan gejolak yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, terdengar
celoteh yang menusuk hati,
“Wuis, Pak Fadil akting. Awas, awas! Pak Fadil
akting.”
Entahlah, tak tahu persis sang penutur kalimat
yang menusuk itu. Yang jelas, mereka berempat: Adhadi, Faisal, Yuki, dan
Yunita. Empat nama yang mungkin tak akan terlupa untuk selamanya.
“Ini, Pak, air putih.”
Alhamdulillah, ada air putih. Namun anehnya, air
itu terasa begitu aneh. Sama sekali tak terasa sebagai air minum. Sengak,
menusuk lidah, dan membuat mual seketika.
“Air apa ini????”
“Air minum, Pak”
Tak kuat menahan mual, aku pun keluar dari kelas,
lalu membungkuk di ujung teras, tepat di hadapan taman.
Hoeeek!
Hoeek!
Semburan isi perut pun terhambur di sekitar
taman. Beberapa bekas kunyahan cabai yang terlihat belum halus, tampak di
antara material muntahan lainnya. Anehnya, setelah muntah, rasa mual dan pusing
itu jadi berkurang, bahkan seperti hilang. Maka ketika keempat malaikat tengil
terlihat berubah menjadi panik, lalu bertanya, “Bapak kenapa?”, dengan mudah aku
pun menjawab, “Bapak cuma akting muntah.”
Printer Mama
Meski memasuki masa uzur di Smaridasa, tak lantas
membuat FBI surut semangat dalam mengikuti lomba. Jangankan lomba individu,
lomba berkelompok pun dibabat, salah satunya lomba menulis karya ilmiah
bertemakan penanggulangan HIV AIDS yang diadakan oleh FK Unmul.
Mereka yang ikut, pun membentuk kelompok, alias
regu. Ada regu putri, regu putra, dan ada juga regu campuran. Tentu, tidak
semua kelompok berkonsultasi dengan aku. Bukan karena terlalu banyak regu
sehingga membuat aku padat jadwal pelayanan konsultasi, tapi karena beberapa di
antara mereka tak sampai hati mengingat tema yang diangkat yaitu tentang HIV
AIDS.
Dinamika kerja kelompok pun terjadi. Ada kelompok
yang bekerja dengan totalitas tingkat tinggi, yaitu dengan mendatangi markas
komunitas penderita HIV AIDS di Kota Samarinda. Ada kelompok yang berkerja dari
pagi sampai malam dengan mengabaikan jam belajar pagi di sekolah, makan gratis
di asrama, dan bimbel malam di sekolah. Dan yang paling ekstrem, ada kelompok yang
sampai memilih meninggalkan asrama demi bisa fokus membuat laporan penelitian
di rumah.
Hasil kerja keras mereka pun tak sia-sia. Dari
enam kategori juara, tim-tim Smaridasa berhasil merebut (semoga tidak salah) tiga
di antaranya, yaitu juara I, juara III, dan juara harapan II. Sungguh prestasi
yang sangat luar biasa.
Namun yang menjadi kesan tersendiri, hadiah lomba
tidak berupa uang, melainkan barang. Juara satu, yaitu Nanda, Tiwi, dan Fathia,
mendapat printer mahal dengan ukuran yang lumayan besar. Mereka yang putri, tentu
agak kerepotan membawa barang sebesar itu.
Nanda yang tempat tinggalnya tak jauh dari tempat
lomba, paling nyaman karena tinggal minta dijemput. Fathia pun tak jauh beda.
Meski sempat masuk angkot, printernya kemudian diturunkan di Sutomo, diambil
oleh orang tuanya. Yang membingungkan, tentu Tiwi, si bècék dari Tarakan. Kalau
dibawa ke asrama, tentu tak terpakai. Kalau dibawa ke Tarakan, terlalu
merepotkan.
Kesepakatan pun tercipta. Tiwi perlu uang, aku
yang kala itu tak memiliki printer, bersedia mencicil printernya yang berharga
mahal itu. Namun karena sudah terlanjur dibawa ke asrama, transaksi pun baru
bisa dilaksanakan pada hari Senin, setelah upacara.
Hari Senin pun tiba. Aku pun tak sabar ingin segera
memboyong printer mahal itu ke kontrakan. Maka jangankan setelah upacara, sebelum
subuh pun rasanya ingin sekali mengambilnya. Namun ketika sedang
sumringah-sumringahnya karena terbayang akan punya printer bagus, belum saja aku
mendatangi Tiwi di barisan upacara, HP di kantong celana terasa bergetar.
Dari tampilan layar, tertera nama FBI Tiwi.
Wuiiih, tambah sumringahlah aku. Sepertinya, dia pun tak sabar bertransaksi.
Dalam hati pun memaki, “Dasar cewek, kalau sudah urusan uang, laju terus
bawaannya!” Namun setelah HP dibuka, lalu isi sms muncul, aku pun lemas
seketika.
“Maaf, Pak. Setelah saya cerita ke mama saya,
kata mama saya, biar mama saya aja yang beli. Karena ternyata, mama saya juga
lagi butuh printer. Maaf banget, ya, Pa…k!”
Sekolahnya
Manusia
Akhir masa bagi FBI di Smaridasa pun makin dekat.
Begitu banyak kesan yang tertanam di hati, yang mungkin tak kan tertuang semua
jika dituliskan. UN yang jadwalnya molor-molor, yang konon 20 paket soal itu pun
berlalu.
Setelah itu, perpisahan pun menjadi momen yang akan
menguras air mata. “Tradisi” lainnya, yaitu memberi bingkisan perpisahan atau
pun sebagai ungkapan rasa terima kasih, dalam berbagai bentuk. Dan dari sekian
banyak, ada satu bingkisan yang begitu menginspirasi, yaitu buku karya Munif
Chotib, yang berjudul Sekolahnya Manusia,
buku bingkisan dari FBI XII IPA A. ^_^
Karena buku itulah, aku semakin paham, bahwa
kedekatan hubungan emosional antara guru dengan siswa, menjadi salah satu kunci
memaksimalkan potensi siswa. Terima kasih atas itu. Terima kasih atas semuanya.
Maaf, tidak semua cerita dengan tokoh-tokoh lain yang jelas begitu luar biasa, bisa
tertuang karena keterbatasan waktu dan kata-kata. Namun satu hal yang pasti,
eksistensi FBI jelas telah memberi begitu banyak makna pada aku.
Dengan bercanda, kita bisa semakin kaya usia.
Dengan diskusi, kita bisa semakin kaya ilmu. Dengan berdebat, kita bisa semakin
kaya sudut pandang. Dan dengan bersitegang, kita semakin kaya jiwa. Semua itu
menjadi proses pendewasaan sikap kita.
Itulah penggalan kisah bersama kalian, para
manusia yang mampu melampaui batas ketidakmungkinan. Selamat mewarnai hidup!
Teruslah semangat dan saling mendoakan! ^_^