Jumat, 15 November 2024

CERPEN ISLAMI

MASJID KOTAK KOREK

(Fadil Al Karsad)

 

Aku terjaga ketika mendengar suara rintih istigfar berulang-ulang. Meski tak terlalu keras, suara itu terdengar begitu jelas dalam kesenyapan malam seperti ini. Kupekakan pendengaranku, suara rintih itu seperti suara Mbak Ani. Seketika aku pun beranjak menuju ke kamar akhwat yang telah kuanggap sebagai kakak angkatku itu. Kuintip dari celah tirai jendela, tampak ia tersimpuh di atas sajadah. Kepalanya tertunduk, tubuhnya gemetar. Kugedor pintu kamarnya seraya memanggil namanya agar ia tahu ada aku yang siap membantu kalau-kalau ia sedang tertimpa masalah.

“Iya, ukhti. Insya Allah ana ndak apa-apa, jawabnya sesenggukan.

Tapi, bagaimana mungkin ndak apa-apa kalau ia yang terbiasa tegar, tengah malam begini menangis sampai tubuhnya gemetar seperti itu? Kugedor lagi pintu kamarnya sambil kuminta agar ia segera bangkit dan membukakan pintu sebagai bukti bahwa ia benar-benar tidak apa-apa.

Begitu pintu dibuka, langsung kupeluk tubuhnya yang masih gemetar. Ya Allah, bagaimana bisa akhwat yang selalu ceria, seperti mengalami guncangan psikis yang begitu kuat?

“Mbak kenapa?”

“Demi Allah, ana juga ndak tahu. Ini terjadi semata-mata karena kuasa Allah, ukhti,” intro Mbak Ani dengan tubuh yang masih gemetar.

Aku belum tahu pasti arah intro itu. Aku hanya mengira-ngira kalau ini pasti ada hubungannya dengan aksi kami di depan rektorat.

Ya, kami sebagai pengurus masjid kampus memang tidak akan tinggal diam kalau masjid kampus kami masih tidak menjadi perhatian pihak rektorat untuk segera ditambah daya tampungnya.

Dengan peningkatan jumlah mahasiswa setiap tahunnya, yang lebih dari sembilan puluh persen di antaranya adalah muslim, pihak rektorat tetap saja membiarkan ruang satu lantai berukuran empat kali enam meter yang berusia lebih dari lima belas tahun itu berstatus sebagai masjid kampus.

Padahal dalam perhitungan kami, sangat mudah bagi kampus kami yang penyerapan uang pembangunan per tahunnya lebih dari lima puluh miliar rupiah, mengalokasikan dana pelebaran masjid yang tidak lebih dari dua ratus juta rupiah. Yang perlu dilakukan adalah membongkar dinding di sisi kiri, lalu memperlebar dengan mendirikan sambungan dinding di pinggiran taman selebar 3—5 meter tanpa harus merobohkan pohon-pohon besar yang menjadi peneduh masjid kami, sekaligus menjadi saksi bisu atas perjuangan kami selama ini.

***

“Demi Allah yang nyawa kita ada dalam genggaman-Nya, ukhti, janji Allah itu benar-benar nyata adanya,” ucap Mbak Ani penuh yakin setelah menarik napas panjang.

Mendengar kata ‘janji Allah’ itu, aku makin yakin kalau ini memang ada hubungannya dengan kejadian siang tadi, kejadian yang bermula dari niat kami mengajukan proposal yang keempat kalinya tentang pelebaran masjid yang oleh Mbak Ani dijuluki masjid kotak korek.

Ya, kotak korek, sebuah analogi sarat inspirasi yang selalu bisa membuat kami tersenyum dalam keterbatasan. Kotak korek adalah benda ruang yang kecil, tapi berisikan batang-batang korek yang bisa membakar seisi dunia. Karena itulah, meski masjid kampus kami berukuran kecil, tapi jika kami mampu memiliki iman yang kuat, kami pun pasti bisa menaklukkan seisi dunia.

Subhanalla...h, begitu lihai ia dalam beranalogi. Benarlah falsafah yang menyebutkan bahwa dengan banyak membaca, seseorang bisa lebih bijak dalam menyikapi permasalahan hidup. Betapa beruntungnya aku mengenal akhwat kutu buku lulusan pesantren modern di kota ini, pesantren bela negara yang konsepnya didasari prinsip Piagam Madinah yang dicetuskan oleh Rasulullah tentang bela negara.

***

Butiran bening kembali terlihat menuruni pipi Mbak Ani, keluar dari kedua matanya yang terpejam. Bibirnya masih melisankan istigfar meski sesekali berhenti untuk menarik napas panjang.

Sementara aku yang belum sepenuhnya tahu pasti perihal yang terjadi, kembali mendekap tubuh akhwat yang tahun lalu menjabat sebagai ketua bidang pemberdayaan sumber daya pengurus masjid kampus kami, jabatan yang kini kuemban. Kutempelkan pula kepalaku di samping kepalanya, pertanda bahwa aku siap mendengarkan apa pun yang ia rasa.

“Kalau menurut Mbak ini adalah hal yang baik, berbagilah dengan ana! Insya Allah itu akan menjadi berkah. Dan kalaupun menurut Mbak ini adalah hal buruk, tetaplah berbagi karena Insya Allah itu bisa menjadi ibroh bagi ana,” pintaku beriring isak.

“Iya, ukhti, syukron. Insya Allah ini adalah hal baik, sangat baik, malah. Ini adalah jawaban atas pertanyaan ana tentang maksud janji Allah bahwa pertolongan Allah itu dekat. Ini juga solusi atas masalah yang kita hadapi, ukhti.”

Aku lega mendengar bahwa itu adalah hal baik. Kuucap syukur seketika seraya melepaskan lingkar tanganku. Kulihat wajah Mbak Ani, ia tersenyum.

Alhamdulillah. Kini perasaanku lebih lega dari sebelumnya, dan jauh lebih lega dari siang tadi ketika mendengar langsung penolakan rektor atas proposal kami. Kami kesal dengan rektor yang beralasan bahwa anggaran tahun depan akan terserap untuk pembangunan fakultas baru.

Menurut kami, kalau memang rektorat tidak bisa atau tidak mau menganggarkan dana, paling tidak kami diberi rekomendasi tertulis agar kami bisa mengajukan proposal ke pihak luar. Namun, ketika kami desak untuk memberikan rekomendasi, rektor bergelar haji itu hanya meminta kami untuk menunggu sampai rektorat bisa mengalokasikan dana tersendiri. Menurutnya, pembangunan sarana yang melibatkan pihak luar akan membuat kampus menjadi objek kepentingan tertentu.

“Kecuali kalau darurat, seperti masjid dalam kondisi rusak sehingga benar-benar tidak bisa dipakai lagi. Nah, itu bisa saja pakai anggaran tak terduga, atau pun meminta bantuan dari pihak mana pun. Sudahlah! Pegang omongan saya! Renovasi masjid itu ada saatnya sendiri,” tegasnya dengan nada sinis.

Padahal kalau rekomendasi itu bisa kami dapatkan, sudah ada beberapa calon termohon proposal kami yang bersedia membantu, mulai dari himpunan pengusaha muslim, sampai lembaga-lembaga amil zakat.

***

Habis debat tadi, pikiran ana jadi ndak tenang, ukhti. Ana terus aja kepikiran janji bahwa pertolongan Allah itu dekat,” lanjut Mbak Ani.

“Satu sisi ana yakin kalau janji Allah itu pasti benar. Namun di sisi lain, ana penasaran dengan maksud kata ‘dekat’ dalam janji Allah itu. Kalau memang dekat, kenapa tidak juga datang? Kalau memang dekat, kenapa lebih dari tiga tahun ini, kita terus-menerus diberi ketidakpastian?

Bahkan kalau diperluas, kenapa Allah seperti menjauhkan pertolongan-Nya untuk bangsa kita dari berbagai masalah? Begitu juga dengan penderitaan saudara muslim kita di seluruh dunia, kenapa Allah tidak segera menolong padahal pertolongan itu dekat? Apa makna dekat itu versi Allah?

Itulah sebabnya bakda isya tadi ana coba browsing di internet, juga menghubungi ustazah ana di ponpes dulu. Namun dari semua itu, ana masih ngerasa belum puas sampai-sampai ana ndak bisa tidur meski udah tengah malam. Ana coba paksa merem, tetep aja pikiran ana ke mana-mana. Ana coba ulang hafalan Al Quran dalam hati, tetep juga ndak bisa tenang.

Akhirnya ana nyerah, ukhti. Ana ambil wudu, lalu salat hajat memohon petunjuk Allah. Ana berusaha untuk sepenuhnya bermunajat atas yang ana rasakan. Selesai salat, ana berdoa agar Allah berkenan memberi petunjuk atas maksud janji-Nya itu. Kalaupun tidak, ana cuma minta supaya Allah menidurkan hamba-Nya yang lemah ini.

Setelah itu, karena memang masih belum bisa tidur, ana coba buka Al Quran secara acak sambil berdoa agar Allah berkenan memberi petunjuk. Dan ...”

Mbak Ani kembali berhenti bercerita, tapi kini lebih lama. Badannya kembali gemetar. Ia pun menangis lagi seraya berucap istigfar berulang-ulang.

Aku hanya bisa larut dalam tangis dengan kedua tangan kembali mendekap Mbak Ani, akhwat yang siang tadi menjadi pereda emosi kami di rektorat, emosi yang muncul setelah mendengar penolakan rektor yang sepertinya memang sengaja mempermainkan kami.

Di depan rektorat itulah, kami melakukan aksi protes dan mengancam akan membawa masalah itu ke DPRD dengan mengundang wartawan. Alih-alih memenuhi tuntutan kami, rektor justru balik mengancam tidak akan mengalokasikan anggaran jika kami tidak menghentikan aksi protes kami. Pria perokok itu juga mengancam akan menindak secara akademis jika kami sampai membawa masalah itu ke DPRD, apalagi dengan mengundang wartawan.

Kami yang sedang diliputi emosi pun jelas mengabaikan semua ancaman itu. Salah satu dari kami bahkan ada yang berseru bahwa mati pun adalah syahid karena kami sedang membela agama Allah.

Namun saat itulah, saat emosi perlahan mulai melumpuhkan logika kami, seketika Mbak Ani mengambil alih megaphone, lalu meminta kami untuk tenang agar tak sampai gelap mata. Ia juga kembali berbagi analogi kotak korek agar kami tetap mau bersabar meski dalam keterbatasan.

Ia pun menekankan bahwa dengan keterbatasan, dalam diri orang yang beriman justru akan muncul kemauan yang tak terbatas untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Maka dengan suara yang jelas bergetar, ia memohon dengan sangat agar kami mau kembali ke masjid kotak korek untuk menenangkan diri sambil berintrospeksi.

Entahlah. Aku dan teman-teman yang berjumlah lebih dari lima puluh orang, yang semula begitu membara menyuarakan protes dan kecaman lantaran rasa kecewa dan emosi yang tak tertahan, seolah terhipnotis begitu saja oleh kata-kata Mbak Ani. Kami seperti bayi yang sedang menangis, lalu terdiam seketika setelah mendengar suara lembut ibu yang begitu menenangkan.

Namun sesampainya masjid, beberapa ikhwan yang masih merasa kecewa, kembali mempertanyakan kelanjutan nasib masjid kotak korek kami. Mbak Ani pun lalu menjelaskan bahwa yang bisa dan harus dilakukan sekarang ini hanyalah memohon petunjuk dan pertolongan Allah.

“Tapi bukankah ukhti juga paham bahwa Allah tidak akan mengubah nasib kita kalau kita tidak mengubahnya?” cecar salah satu dari ikhwan itu.

“Kita sudah berusaha mengubahnya, akhi. Kita sudah berusaha,” jawab Mbak Ani dengan nada suara yang agak tinggi. Ia pun lalu mengutip ayat 214 surat Al Baqarah yang menjelaskan bahwa sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. Karena itu, kami dimintanya untuk tidak berputus asa dengan cara mau berbaik sangka kepada Allah karena sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.

***

“Coba anti buka dan baca baik-baik surat Al Baqarah, ayat 45—46!” pinta Mbak Ani setelah cukup lama larut dalam tangis dan istighfar.

“Pasti itu bukan ayat yang asing bagi anti.

“Iya, Mbak. Ini tentang petunjuk Allah bagi kita yang ingin memohon pertolongan-Nya. Kita disuruh untuk sabar dan salat. Tapi Allah juga menjelaskan bahwa itu tidak mudah dilakukan, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”

“Iya, ukhti. Khusyuk di situ adalah orang-orang yang yakin bahwa kelak ia akan menemui, dan kembali pada Allah, kan?”

Aku mengangguk dengan bulu kuduk merinding, dan tubuh yang mulai bergetar. Aku seperti bisa merasakan yang Mbak Ani rasakan.

Kuucap tasbih berulang-ulang dalam hati. Aku memuji-Nya yang telah menganugerahi kami sebuah kitab penuntun hidup yang tidak ada keraguan di dalamnya. Aku memuji-Nya yang telah memberi kami petunjuk yang begitu mengena, begitu selaras dengan yang kami rasa saat ini. Dan aku memuji-Nya yang telah mempertemukanku dengan Mbak Ani, akhwat bersemangat juang tinggi yang bercita-cita menjadi Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara itu.

Selama ini pastilah kami belum bisa bersabar sebagaimana yang Allah gambarkan dalam ayat itu. Selama ini pun salat kami mungkin masih jauh dari yang Allah gariskan dalam ayat itu.

“Dan ternyata, ukhti, Allah juga memberi petunjuk yang sama pada ayat 153, surat Al Baqarah. Coba anti lihat!”

Aku pun mencari ayat yang dimaksud seraya terus bertasbih dalam hati. Dan subhanallah! Dalam ayat itu, Allah kembali memberi petunjuk bagi kita untuk memohon pertolongan-Nya dengan mengamalkan sabar dan salat. Allah juga menegaskan bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.

Ukhti, kalau kita benar-benar sabar, pastilah kita tidak akan meluapkan amarah kita seperti waktu di rektorat itu. Dan kalau pun kita salat, mungkin salat kita masih sebatas salat fardu, atau ditambah dengan salat sunah rawatib, atau bahkan hanya salat di atas sajadah dengan hati yang masih kerap gelisah karena jauh dari Allah.

Kita masih jauh dari yang dicontohkan Rasulullah yang selalu memohon pertolongan Allah dengan salat malam. Rasulullah bahkan selalu berlama-lama dalam salat malamnya hingga kerap membuat kaki beliau bengkak. Yah, jangankan sampai bisa seperti itu, ukhti, untuk bisa salat malam biasa aja mungkin kita masih lalai.

Selama ini kita khilaf karena hanya mengandalkan aturan main manusia dengan mengajukan proposal kepada sesama manusia aja, ukhti. Kita lupa kalau kita pun bisa dan harus mengajukan proposal kepada Allah dengan salat-salat malam kita. Kita khilaf karena menganggap bahwa Allah akan mengubah nasib kita setelah kita melakukan ikhtiar zahir aja.

Padahal sejarah telah tertulis jelas dalam Al Quran bahwa sesungguhnya kemenangan kaum muslim dalam Perang Badar bukanlah karena usaha zahiriah semata. Allahlah yang mendatangkan pertolongan-Nya hingga pasukan kaum muslim yang hanya tiga ratusan, mampu mengalahkan pasukan kaum kafir yang berjumlah ribuan dengan perlengkapan perang yang sangat memadai.

Kita tahu, ukhti, yang menjadi kekuatan utama pasukan kaum muslim kala itu hanyalah iman kepada Allah. Di bawah bimbingan langsung Rasulullah, mereka mampu mengamalkan sabar dan salat dengan baik.

Selain riwayat itu, anti juga pasti tahu riwayat Muhammad Al Fatih, sang penakluk Konstantinopel yang perannya sudah disebut semasa Rasulullah masih hidup. Allah memudahkan perjuangan dakwahnya ke Eropa karena amaliah salat malamnya yang ndak pernah terlalaikan sejak ia akil balig. Subhanalla....h!

Dan yang tentu kita juga tahu, Aceh menjadi satu-satunya wilayah di Indonesia yang tidak pernah jatuh ke tangan penjajah, salah satu sebabnya adalah karena para kiyai dari berbagai pesantren yang ada di sana kala itu, berhasil mengobarkan semangat jihad kepada para santrinya untuk berperang melawan kaum penjajah. Wallahu’alam, Allah pun berkenan menolong karena keikhlasan mereka.

Karena itulah, ukhti, janji Allah bahwa sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat, memang benar dan nyata adanya. Pertolongan itu dekat karena kembali pada diri kita sendiri. Kalau kita bisa dan mau mengamalkan sabar dan salat dengan benar, pastilah pertolongan Allah itu datang. Meskipun di sisi lain, kita pun harus tetap melakukan ikhtiar secara zahir,” papar Mbak Ani yang masih sesenggukan.

Aku tak kuasa menahan tangis mendengar semua itu. Tubuhku bergetar di luar kendaliku. Kuucap istigfar sebisa dan sebanyak mungkin. Aku memohon ampun atas kesombongan dan kebodohanku selama ini yang merasa sudah melakukan semuanya. Hingga karena itu, tak jarang aku memaki dalam hati, memaki mereka yang menghalangi langkah kami yang sedang berjuang di jalan Allah. Astagfirullah al azi...m!

***

Sinar matahari sudah mulai terasa hangat ketika Mbak Ani selesai berbagi catatan di grup WA masjid kotak korek. Dengan bahasa yang sederhana dan objektif, ia menuliskan seruan agar siapa pun yang ingin berjuang demi kebaikan di jalan Allah, mau dengan ikhlas memperbaiki amaliah dengan mengamalkan sabar dan salat sebagaimana riwayat-riwayat kaum muslim pada masa-masa kejayaan Islam.

Mbak Ani pun mengutip Hadis Riwayat Muslim Nomor 1847 yang berisi seruan untuk tetap taat pada pemimpin meskipun pemimpin itu telah berlaku zalim. Karena itu, selama kami tidak diperintahkan untuk bermaksiat kepada Allah, kami tetap harus taat pada pemimpin, yaitu rektor kami.

Yang benar-benar harus kami lakukan adalah memperbaiki amaliah agar Allah mendatangkan pertolongan dengan cara-Nya, sebagaimana anjuran para ulama salaf. Semakin kami berusaha dengan ikhlas memperbaiki amaliah kami, semakin cepat pula pertolongan Allah datang.

Selang beberapa menit, catatan itu pun langsung mendapat reaksi positif. Kebanyakan dari komentar itu berupa ucapan tasbih dan istigfar yang secara keseluruhan bernada sepakat untuk saling memperbaiki sabar dan salat masing-masing. Bahkan teman-teman ikhwan langsung sepakat untuk rutin melakukan mabit di masjid kampus kami, masjid kotak korek.

Subhanalla...h! Begitu efektif seruan Mbak Ani, seruan yang benar-benar keluar dari hati sehingga jauh dari emosi dan kesan menggurui. Makin kagum aku dengannya yang dengan izin Allah, telah membuat kami makin paham dengan hakikat bertauhid kepada Allah.

***

Mahabesar Allah atas segala kuasa-Nya. Dengan izin-Nya, aku merasa ada perubahan besar pada diriku, perubahan yang juga dirasa teman-teman lainnya. Kini aku merasa bisa lebih tenang, sebagaimana yang juga dirasakan oleh teman-teman sejak kami berusaha untuk memperbaiki sabar dan salat kami.

Hingga pada pagi Minggu setelah malamnya hujan turun dengan begitu deras disertai angin kencang, pagi Minggu ketika kami masih mengikuti kegiatan Bina Iman, Takwa, dan Nasionalisme Mahasiswa Islam di pusat diklat dan out bond milik pesantren almamater Mbak Ani, kami mendapat kabar di medsos bahwa dua pohon besar yang selama ini menaungi kami dari terik dan hujan di kampus, roboh menimpa sebuah ruang berukuran empat kali enam meter hingga membuat ruang itu hampir rata dengan tanah.

Kami mengucap istirja’ seketika. Dan tanpa dikomando, aku dan teman-teman akhwat yang di antaranya adalah Mbak Ani, saling bertatap dengan mata yang mulai berair. Entahlah, lagi-lagi tanpa ada komando, seketika kami pun menghadap kiblat, lalu bersujud pada-Nya.

Dalam sujud beriring tangis itu, hatiku bergetar mengucap tanya, inikah jawaban-Mu atas doa-doa kami, wahai Zat yang Maha Menepati Janji?

***

11 September 2016

Untuk para mujahid Indonesia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CERPEN TRAGEDI IV

MALIN KUNDANG SI ANAK DURHAKA Sumber: www.cerita.web.id Dahulu kala, di Minang, Sumatera Barat, hiduplah sepasang ibu dan anak dalam kondisi...