MASJID KOTAK KOREK
(Fadil Al Karsad)
Aku terjaga
ketika mendengar suara rintih istigfar berulang-ulang. Meski tak terlalu keras,
suara itu terdengar begitu jelas dalam kesenyapan malam seperti ini. Kupekakan
pendengaranku, suara rintih itu seperti suara Mbak Ani. Seketika aku pun
beranjak menuju ke kamar akhwat yang
telah kuanggap sebagai kakak angkatku itu. Kuintip dari celah tirai jendela,
tampak ia tersimpuh di atas sajadah. Kepalanya tertunduk, tubuhnya gemetar.
Kugedor pintu kamarnya seraya memanggil namanya agar ia tahu ada aku yang siap
membantu kalau-kalau ia sedang tertimpa masalah.
“Iya, ukhti. Insya Allah ana ndak apa-apa,” jawabnya sesenggukan.
Tapi, bagaimana mungkin ndak apa-apa kalau ia yang terbiasa tegar,
tengah malam begini menangis sampai tubuhnya gemetar seperti itu? Kugedor lagi
pintu kamarnya sambil kuminta agar ia segera bangkit dan membukakan pintu
sebagai bukti bahwa ia benar-benar tidak apa-apa.
Begitu pintu
dibuka, langsung kupeluk tubuhnya yang masih gemetar. Ya Allah, bagaimana bisa akhwat yang selalu ceria, seperti mengalami
guncangan psikis yang begitu kuat?
“Mbak kenapa?”
“Demi Allah, ana juga ndak tahu. Ini terjadi semata-mata karena kuasa Allah, ukhti,” intro Mbak Ani dengan tubuh yang
masih gemetar.
Aku belum tahu
pasti arah intro itu. Aku hanya mengira-ngira kalau ini pasti ada hubungannya
dengan aksi kami di depan rektorat.
Ya, kami sebagai pengurus
masjid kampus memang tidak akan
tinggal diam kalau masjid kampus kami masih tidak menjadi perhatian pihak
rektorat untuk segera ditambah daya tampungnya.
Dengan peningkatan
jumlah mahasiswa setiap tahunnya, yang lebih dari sembilan puluh persen di antaranya
adalah muslim, pihak rektorat tetap saja membiarkan ruang satu lantai berukuran
empat kali enam meter yang berusia lebih dari lima belas tahun itu berstatus
sebagai masjid kampus.
Padahal dalam perhitungan
kami, sangat mudah bagi kampus kami yang penyerapan uang pembangunan per
tahunnya lebih dari lima puluh miliar rupiah, mengalokasikan dana pelebaran
masjid yang tidak lebih dari dua ratus juta rupiah. Yang perlu dilakukan adalah
membongkar dinding di sisi kiri, lalu memperlebar dengan mendirikan sambungan
dinding di pinggiran taman selebar 3—5 meter tanpa harus merobohkan pohon-pohon
besar yang menjadi peneduh masjid kami, sekaligus menjadi saksi bisu atas
perjuangan kami selama ini.
***
“Demi Allah yang
nyawa kita ada dalam genggaman-Nya, ukhti,
janji Allah itu benar-benar nyata adanya,” ucap Mbak Ani penuh yakin setelah
menarik napas panjang.
Mendengar kata
‘janji Allah’ itu, aku makin yakin kalau ini memang ada hubungannya dengan
kejadian siang tadi, kejadian yang bermula dari niat kami mengajukan proposal
yang keempat kalinya tentang pelebaran masjid yang oleh Mbak Ani dijuluki
masjid kotak korek.
Ya, kotak korek, sebuah analogi sarat
inspirasi yang selalu bisa
membuat kami tersenyum dalam keterbatasan. Kotak korek adalah benda ruang yang kecil, tapi
berisikan batang-batang korek yang bisa membakar seisi dunia. Karena itulah,
meski masjid kampus kami berukuran kecil, tapi jika kami mampu memiliki iman
yang kuat, kami pun pasti bisa menaklukkan seisi dunia.
Subhanalla...h, begitu lihai ia dalam beranalogi. Benarlah
falsafah yang menyebutkan bahwa dengan banyak membaca, seseorang bisa lebih bijak dalam menyikapi
permasalahan hidup.
Betapa
beruntungnya aku mengenal akhwat kutu
buku lulusan pesantren modern di kota ini,
pesantren bela negara yang konsepnya didasari prinsip Piagam Madinah yang dicetuskan
oleh Rasulullah tentang bela negara.
***
Butiran bening
kembali terlihat menuruni pipi Mbak Ani, keluar dari kedua matanya yang
terpejam. Bibirnya masih melisankan istigfar meski sesekali berhenti untuk
menarik napas panjang.
Sementara aku
yang belum sepenuhnya tahu pasti perihal yang terjadi, kembali mendekap tubuh akhwat yang tahun lalu
menjabat sebagai ketua bidang pemberdayaan sumber daya pengurus masjid kampus
kami, jabatan yang kini kuemban. Kutempelkan pula kepalaku di samping
kepalanya, pertanda bahwa aku siap mendengarkan apa pun yang ia rasa.
“Kalau menurut
Mbak ini adalah hal yang baik, berbagilah dengan ana! Insya Allah itu akan menjadi berkah. Dan kalaupun menurut Mbak
ini adalah hal buruk, tetaplah berbagi karena Insya Allah itu bisa menjadi ibroh bagi ana,” pintaku beriring isak.
“Iya, ukhti, syukron. Insya Allah ini adalah
hal baik, sangat baik, malah. Ini adalah jawaban atas pertanyaan ana tentang maksud janji Allah bahwa
pertolongan Allah itu dekat. Ini juga solusi atas masalah yang kita hadapi, ukhti.”
Aku lega
mendengar bahwa itu adalah hal baik. Kuucap syukur seketika seraya melepaskan
lingkar tanganku. Kulihat wajah Mbak Ani, ia tersenyum.
Alhamdulillah. Kini perasaanku
lebih lega dari sebelumnya, dan jauh lebih lega dari siang tadi ketika
mendengar langsung penolakan rektor atas proposal kami. Kami kesal dengan
rektor yang beralasan bahwa anggaran tahun depan akan terserap untuk
pembangunan fakultas baru.
Menurut kami,
kalau memang rektorat tidak bisa
atau tidak mau
menganggarkan dana, paling tidak kami diberi rekomendasi tertulis agar kami
bisa mengajukan proposal ke pihak luar. Namun, ketika kami desak untuk memberikan rekomendasi, rektor bergelar
haji itu hanya meminta kami untuk menunggu sampai rektorat bisa mengalokasikan
dana tersendiri. Menurutnya, pembangunan sarana yang melibatkan pihak luar akan
membuat kampus menjadi objek kepentingan tertentu.
“Kecuali kalau darurat,
seperti masjid dalam kondisi rusak sehingga benar-benar tidak bisa dipakai
lagi. Nah, itu bisa saja pakai anggaran tak terduga, atau
pun meminta bantuan dari pihak mana pun. Sudahlah! Pegang omongan saya! Renovasi
masjid itu ada saatnya sendiri,” tegasnya dengan nada sinis.
Padahal kalau
rekomendasi itu bisa kami dapatkan, sudah ada beberapa calon termohon proposal
kami yang bersedia membantu, mulai dari himpunan pengusaha muslim, sampai
lembaga-lembaga amil zakat.
***
“Habis debat tadi, pikiran ana jadi ndak tenang, ukhti. Ana terus aja kepikiran janji bahwa pertolongan Allah itu dekat,” lanjut Mbak
Ani.
“Satu sisi ana yakin kalau janji Allah itu pasti
benar. Namun di sisi lain, ana penasaran dengan maksud kata ‘dekat’ dalam
janji Allah itu. Kalau memang dekat, kenapa
tidak juga datang? Kalau memang dekat, kenapa
lebih dari tiga tahun ini, kita terus-menerus diberi ketidakpastian?
Bahkan kalau
diperluas, kenapa Allah seperti
menjauhkan pertolongan-Nya untuk bangsa kita dari berbagai masalah? Begitu juga
dengan penderitaan saudara muslim kita di seluruh dunia, kenapa Allah tidak
segera menolong padahal pertolongan itu dekat? Apa makna dekat itu versi Allah?
Itulah sebabnya
bakda isya tadi ana coba browsing di internet, juga menghubungi
ustazah ana di ponpes dulu. Namun
dari semua itu, ana masih ngerasa belum puas sampai-sampai ana ndak bisa tidur meski udah tengah malam. Ana coba paksa merem, tetep aja pikiran ana ke mana-mana. Ana
coba ulang hafalan Al Quran dalam hati, tetep
juga ndak bisa tenang.
Akhirnya ana nyerah,
ukhti. Ana ambil wudu, lalu salat hajat memohon petunjuk Allah. Ana berusaha untuk sepenuhnya bermunajat
atas yang ana rasakan. Selesai salat, ana berdoa agar Allah berkenan memberi petunjuk atas maksud
janji-Nya itu. Kalaupun tidak, ana cuma minta supaya Allah menidurkan
hamba-Nya yang lemah ini.
Setelah itu,
karena memang masih belum bisa tidur, ana
coba buka Al Quran secara acak sambil berdoa agar Allah berkenan memberi
petunjuk. Dan ...”
Mbak Ani kembali
berhenti bercerita, tapi
kini lebih lama.
Badannya kembali gemetar. Ia pun menangis lagi seraya berucap istigfar
berulang-ulang.
Aku hanya bisa
larut dalam tangis dengan kedua tangan kembali mendekap Mbak Ani, akhwat yang siang tadi menjadi pereda
emosi kami di rektorat, emosi yang muncul setelah mendengar penolakan rektor
yang sepertinya memang sengaja mempermainkan kami.
Di depan rektorat
itulah, kami melakukan aksi protes dan mengancam akan membawa masalah itu ke
DPRD dengan mengundang wartawan. Alih-alih memenuhi tuntutan kami, rektor
justru balik mengancam tidak akan mengalokasikan anggaran jika kami tidak
menghentikan aksi protes kami. Pria perokok itu juga mengancam akan menindak
secara akademis jika kami sampai membawa masalah itu ke DPRD, apalagi dengan
mengundang wartawan.
Kami yang sedang
diliputi emosi pun jelas mengabaikan semua ancaman itu. Salah satu dari kami
bahkan ada yang berseru bahwa mati pun adalah syahid karena kami sedang membela
agama Allah.
Namun saat
itulah, saat emosi perlahan mulai melumpuhkan logika kami, seketika Mbak Ani
mengambil alih megaphone, lalu meminta
kami untuk tenang agar tak sampai gelap mata. Ia juga kembali berbagi analogi
kotak korek agar kami tetap mau bersabar meski dalam keterbatasan.
Ia pun menekankan
bahwa dengan keterbatasan, dalam diri orang yang beriman justru akan muncul
kemauan yang tak terbatas untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Maka
dengan suara yang jelas bergetar, ia memohon dengan sangat agar kami mau
kembali ke masjid kotak korek untuk menenangkan diri sambil berintrospeksi.
Entahlah. Aku dan
teman-teman yang berjumlah lebih dari lima puluh orang, yang semula begitu
membara menyuarakan protes dan kecaman lantaran rasa kecewa dan emosi yang tak
tertahan, seolah terhipnotis begitu saja oleh kata-kata Mbak Ani. Kami seperti
bayi yang sedang menangis, lalu terdiam seketika setelah mendengar suara lembut
ibu yang begitu menenangkan.
Namun sesampainya
masjid, beberapa ikhwan yang masih
merasa kecewa, kembali mempertanyakan kelanjutan nasib masjid kotak korek kami.
Mbak Ani pun lalu menjelaskan bahwa yang bisa dan harus dilakukan sekarang ini
hanyalah memohon petunjuk dan pertolongan Allah.
“Tapi bukankah ukhti juga paham bahwa Allah tidak akan
mengubah nasib kita kalau kita tidak mengubahnya?” cecar salah satu dari ikhwan itu.
“Kita sudah
berusaha mengubahnya, akhi. Kita
sudah berusaha,” jawab Mbak Ani dengan nada suara yang agak tinggi. Ia pun lalu
mengutip ayat 214 surat Al Baqarah yang menjelaskan bahwa sesungguhnya
pertolongan Allah itu dekat. Karena itu, kami dimintanya untuk tidak berputus
asa dengan cara mau berbaik sangka kepada Allah karena sesungguhnya pertolongan
Allah itu dekat.
***
“Coba anti buka dan baca baik-baik surat Al
Baqarah, ayat 45—46!” pinta Mbak Ani setelah cukup lama larut dalam tangis dan
istighfar.
“Pasti itu bukan
ayat yang asing bagi anti.”
“Iya, Mbak. Ini
tentang petunjuk Allah bagi kita yang ingin memohon pertolongan-Nya. Kita
disuruh untuk sabar dan salat. Tapi Allah juga menjelaskan bahwa itu tidak
mudah dilakukan, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”
“Iya, ukhti. Khusyuk di situ adalah
orang-orang yang yakin bahwa kelak ia akan menemui, dan kembali pada Allah,
kan?”
Aku mengangguk
dengan bulu kuduk merinding, dan tubuh yang mulai bergetar. Aku seperti bisa
merasakan yang Mbak Ani rasakan.
Kuucap tasbih
berulang-ulang dalam hati. Aku memuji-Nya yang telah menganugerahi kami sebuah
kitab penuntun hidup yang tidak ada keraguan di dalamnya. Aku memuji-Nya yang
telah memberi kami petunjuk yang begitu mengena, begitu selaras dengan yang
kami rasa saat ini. Dan aku memuji-Nya yang telah mempertemukanku dengan Mbak
Ani, akhwat bersemangat juang tinggi yang bercita-cita menjadi Menteri
Pemberdayaan Aparatur Negara itu.
Selama ini
pastilah kami belum bisa bersabar sebagaimana yang Allah gambarkan dalam ayat
itu. Selama ini pun salat kami mungkin masih jauh dari yang Allah gariskan
dalam ayat itu.
“Dan ternyata, ukhti, Allah juga memberi petunjuk yang
sama pada ayat 153, surat Al Baqarah. Coba anti
lihat!”
Aku pun mencari
ayat yang dimaksud seraya terus bertasbih dalam hati. Dan subhanallah! Dalam ayat itu, Allah kembali memberi petunjuk bagi
kita untuk memohon pertolongan-Nya dengan mengamalkan sabar dan salat. Allah
juga menegaskan bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.
“Ukhti, kalau kita benar-benar sabar,
pastilah kita tidak akan meluapkan amarah kita seperti waktu di rektorat itu.
Dan kalau pun kita salat, mungkin salat kita masih sebatas salat fardu, atau
ditambah dengan salat sunah rawatib, atau bahkan hanya salat di atas sajadah
dengan hati yang masih kerap gelisah karena jauh dari Allah.
Kita masih jauh
dari yang dicontohkan Rasulullah yang selalu memohon pertolongan Allah dengan
salat malam. Rasulullah bahkan selalu berlama-lama dalam salat malamnya hingga
kerap membuat kaki beliau bengkak. Yah, jangankan sampai bisa seperti itu, ukhti, untuk bisa salat malam biasa aja mungkin kita masih lalai.
Selama ini kita
khilaf karena hanya mengandalkan aturan main manusia dengan mengajukan proposal
kepada sesama manusia aja, ukhti. Kita lupa kalau kita pun bisa dan
harus mengajukan proposal kepada Allah dengan salat-salat malam kita. Kita
khilaf karena menganggap bahwa Allah akan mengubah nasib kita setelah kita
melakukan ikhtiar zahir aja.
Padahal sejarah
telah tertulis jelas dalam Al Quran bahwa sesungguhnya kemenangan kaum muslim
dalam Perang Badar bukanlah karena usaha zahiriah semata. Allahlah yang
mendatangkan pertolongan-Nya hingga pasukan kaum muslim yang hanya tiga
ratusan, mampu mengalahkan pasukan kaum kafir yang berjumlah ribuan dengan
perlengkapan perang yang sangat memadai.
Kita tahu, ukhti, yang menjadi kekuatan utama
pasukan kaum muslim kala itu hanyalah iman kepada Allah. Di bawah bimbingan
langsung Rasulullah, mereka mampu mengamalkan sabar dan salat dengan baik.
Selain riwayat
itu, anti juga pasti tahu riwayat
Muhammad Al Fatih, sang penakluk
Konstantinopel yang perannya sudah disebut semasa Rasulullah masih hidup. Allah
memudahkan perjuangan dakwahnya ke Eropa karena amaliah salat malamnya yang ndak pernah terlalaikan sejak ia akil
balig. Subhanalla....h!
Dan yang tentu
kita juga tahu, Aceh menjadi satu-satunya wilayah di Indonesia yang tidak
pernah jatuh ke tangan penjajah, salah satu sebabnya adalah karena para kiyai
dari berbagai pesantren yang ada di sana kala itu, berhasil mengobarkan
semangat jihad kepada para santrinya untuk berperang melawan kaum penjajah. Wallahu’alam, Allah pun berkenan
menolong karena keikhlasan mereka.
Karena itulah, ukhti, janji Allah bahwa sesungguhnya
pertolongan Allah itu dekat, memang benar dan nyata adanya. Pertolongan itu
dekat karena kembali pada diri kita sendiri. Kalau kita bisa dan mau mengamalkan
sabar dan salat dengan benar, pastilah pertolongan Allah itu datang. Meskipun
di sisi lain, kita pun harus tetap melakukan ikhtiar secara zahir,” papar Mbak
Ani yang masih sesenggukan.
Aku tak kuasa
menahan tangis mendengar semua itu. Tubuhku bergetar di luar kendaliku. Kuucap
istigfar sebisa dan sebanyak mungkin. Aku memohon ampun atas kesombongan dan
kebodohanku selama ini yang merasa sudah melakukan semuanya. Hingga karena itu,
tak jarang aku memaki dalam hati, memaki mereka yang menghalangi langkah kami
yang sedang berjuang di jalan Allah. Astagfirullah
al azi...m!
***
Sinar matahari
sudah mulai terasa hangat ketika Mbak Ani selesai berbagi catatan di grup WA masjid kotak korek. Dengan bahasa yang
sederhana dan objektif, ia menuliskan seruan agar siapa pun yang ingin berjuang
demi kebaikan di jalan Allah, mau dengan ikhlas memperbaiki amaliah dengan mengamalkan
sabar dan salat sebagaimana riwayat-riwayat kaum muslim pada masa-masa kejayaan
Islam.
Mbak Ani pun mengutip
Hadis Riwayat Muslim Nomor 1847 yang berisi seruan untuk tetap taat pada
pemimpin meskipun pemimpin itu telah berlaku zalim. Karena itu, selama kami
tidak diperintahkan untuk bermaksiat kepada Allah, kami tetap harus taat pada
pemimpin, yaitu rektor kami.
Yang benar-benar
harus kami lakukan adalah memperbaiki amaliah agar Allah mendatangkan
pertolongan dengan cara-Nya, sebagaimana anjuran para ulama salaf. Semakin kami
berusaha dengan ikhlas memperbaiki amaliah kami, semakin cepat pula pertolongan
Allah datang.
Selang beberapa
menit, catatan itu pun langsung mendapat reaksi positif. Kebanyakan dari
komentar itu berupa ucapan tasbih dan istigfar yang secara keseluruhan bernada
sepakat untuk saling memperbaiki sabar dan salat masing-masing. Bahkan
teman-teman ikhwan langsung sepakat
untuk rutin melakukan mabit di masjid kampus kami, masjid kotak korek.
Subhanalla...h! Begitu efektif
seruan Mbak Ani, seruan yang benar-benar keluar dari hati sehingga jauh dari
emosi dan kesan menggurui. Makin kagum aku dengannya yang dengan izin Allah,
telah membuat kami makin paham dengan hakikat bertauhid kepada Allah.
***
Mahabesar Allah
atas segala kuasa-Nya. Dengan izin-Nya, aku merasa ada perubahan besar pada
diriku, perubahan yang juga dirasa teman-teman lainnya. Kini aku merasa bisa
lebih tenang, sebagaimana yang juga dirasakan oleh teman-teman sejak kami
berusaha untuk memperbaiki sabar dan salat kami.
Hingga pada pagi
Minggu setelah malamnya hujan turun dengan begitu deras disertai angin kencang,
pagi Minggu ketika kami masih mengikuti kegiatan Bina Iman, Takwa, dan Nasionalisme Mahasiswa Islam di pusat diklat dan out bond milik pesantren almamater Mbak Ani, kami
mendapat kabar di medsos bahwa dua pohon
besar yang selama ini menaungi kami dari terik dan hujan di kampus, roboh
menimpa sebuah ruang berukuran empat kali enam meter hingga membuat ruang itu
hampir rata dengan tanah.
Kami mengucap istirja’ seketika. Dan tanpa dikomando,
aku dan teman-teman akhwat yang di
antaranya adalah Mbak Ani, saling bertatap dengan mata yang mulai berair.
Entahlah, lagi-lagi tanpa ada komando, seketika kami pun menghadap kiblat, lalu
bersujud pada-Nya.
Dalam sujud
beriring tangis itu, hatiku bergetar mengucap tanya, inikah jawaban-Mu atas
doa-doa kami, wahai Zat yang Maha Menepati Janji?
***
11 September 2016
Untuk para mujahid Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar