Jumat, 19 Mei 2023

MAJAS

  

Pengertian

Bahasa (kata-kata) yang bergaya (aneh, tidak biasa, tidak logis)


Jenis

1)      Hiperbola

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan sesuatu dengan cara melebih-lebihkan kadarnya

b)      Contoh

Cintaku sedalam samudera

Seluas jagad raya ini

Kepadamu

 

2)      Litotes

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan sesuatu dengan cara mengurangi kadarnya

b)      Contoh

Ayah

Kau bekerja siang malam demi sesuap nasi

Kau tak meminta setetes air sebagai penghilang dahagamu

 

3)      Personifikasi

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan tindakan manusia yang dilakukan oleh bukan manusia

b)      Contoh

Angin membawa kabar bahwa kau akan kembali

Hatiku pun menari

Bahkan rembulan tersenyum padaku

 

4)      Metafora

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan sesuatu dengan hal lain yang memiliki kesamaan sifat

b)      Contoh

Dengarlah matahariku

Puisi dalam hidupku

5)      Ironi

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan sesuatu dengan hal yang maknanya bertentangan dengan maksud yang sesungguhnya

b)      Contoh

Rajinnya kamu. Yang lain sudah mau pulang, kamu baru datang.

 

6)      Alegori

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan sesuatu dengan penggambaran atau perumpamaan.

b)      Contoh

Buku adalah jendela dunia;

 

7)      Alusio

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan sesuatu dengan peribahasa atau acuan lain yang sudah diketahui maknanya.

b)      Contoh

(1)   Jangan seperti katak dalam temnpurung.

(2)   Dia ingin menjadi Habibie.

 

8)      Antitesis

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan dua hal yang saling berlawanan makna.

b)      Contoh

Tua muda hadir dalam acara pameran buku di Balai Desa Sukamaju.

 

9)      Antropomorfisme

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan sesuatu dengan hal yang berhubungan dengan manusia.

b)      Contoh

Ia sedang berada di kaki bukit.

 

10)  Asosiasi

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan sesuatu dengan hal lain yang memiliki kaitan (asosiasi) dengan menambahkan kata ibarat, bagaikan, laksana, umpama dan sejenisnya.

b)      Contoh

Kecantikannya bagaikan Dewi Sinta.

 

11)  Innuendo

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan suatu fakta dengan cara menyamarkannya.

b)      Contoh

(1)   Karena terlalu banyak makan, ia terlihat agak gemuk.

(2)   Dalam hal matematika, ia tergolong siswa yang kurang pandai.

 

12)  Klimaks

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan suatu rincian dengan pola yang meningkat.

b)      Contoh

Jangankan seribu, sepuluh ribu, atau pun seratus ribu, satu juta pun akan aku bayar.

 

13)  Antiklimaks

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan suatu rincian dengan pola menurun.

b)      Contoh

Jangankan satu juta, seratus ribu, atau pun sepuluh ribu, seribu pun aku tak punya.

 

14)  Paradoks

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan dua hal yang saling bertantangan dalam satu kalimat.

b)      Contoh

Meskipun aku tinggal di kota yang ramai, aku tetap merasa kesepian tanpa ada kamu.

 

15)  Paralelisme

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan sesuatu dengan mengulang kata yang sejajar yang terdapat dalam kalimat atau baris yang berbeda.

b)      Contoh

Kau yang kuimpikan

Kau yang kunantikan

Kau pergi tinggalkanku

 

16)  Pleonasme

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan sesuatu dengan kata secara boros.

b)      Contoh

Sangat banyak sekali masalah ada dalam hisupku.

 

17)  Repetisi

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan sesuatu dengan mengulang-ulang kata atau pun fraaa dalam satu kalimat atau pun baris puisi.

b)      Contoh

(1)   Sekarang, saat ini, detik ini juga aku harus mulai berubah menjadi dewasa.

(2)   Heru berjanji akan terus berjuang, berjuang, dan terus berjuang demi kebahagiaan istri dan anak-anaknya.

 

18)  Retorik

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan sesuatu dengan pertanyaan yang jawabannya sudah diketahui sehingga pertanyaan tersebut hanya bersifat retorika.

b)      Contoh

Kau pasti ingin hidup bahagia kan?

 

19)  Sarkasme

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan sindiran secara kasar.

b)      Contoh

Mendengar namanya saja aku sudah mual.

 

20)  Simbolik

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan sesuatu dengan simbol.

b)      Contoh

Dia memang suka besar kepala.

 

21)  Simile

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan sesuatu dengan hal lain yang memiliki kemiripan (similar).

b)      Contoh

Bung Karno adalah singa podium yang belum tergantikan.

 

22)  Sinekdoke

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan sesuatu dengan menyebutkan bagian atau pun keseluruhannya

b)      Jenis

(1)   Pars pro toto

Menyebutkan bagian (part) dengan maksud (for) keseluruhan (total).

(2)   Totem pro parte

Menyebutkan keseluruhan (total) dengan maksud (for) bagian (part) saja.

c)      Contoh

(1)   Pars pro toto

Hari ini Edo tidak tampak batang hidungnya.

(2)   Totem pro parte

Indonesia berhasil mengalahkan Thailand dalam laga final Sea Games cabang sepak bola putra.

 

23)  Sinestesia

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan perasaan dengan indera yang berbeda.

b)      Contoh

Ucapanmu terasa pedas di telingaku.

 

24)  Sinisme

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan kekesalan dengan sindiran yang kasar.

b)      Contoh

Kamu cantik, tapi bodoh.

 

25)  Tautologi

a)      Pengertian

Majas yang menyatakan dua hal yang saling berkaitan (bertautan).

b)      Contoh

Aku senang melihatmu. Aku bahagia ada di sisimu.

 

CITRAAN PADA PUISI

 a.       Pengertian

Kata dalam baris puisi yang membentuk citra dalam benak pembacanya.


b.      Jenis

1)      Penglihatan

Kata-kata dalam baris puisi yang membentuk citra penglihatan dalam benak pembacanya.

Contoh:

Rumahmu kini tampak hijau

Berpadu dengan latar bukit

2)      Pendengaran

Kata dalam baris puisi yang membentuk citra pendengaran dalam benak pembacanya.

Contoh:

Bising kembali mewarnai kotaku

Deru kendaraan berbaur dengan desingan mesin pabrik

3)      Penciuman

Kata dalam baris puisi yang membentuk citra penciuman dalam benak pembacanya.

Contoh:

Semerbak wangi menyeruak

Meluluhkan amis dengan seketika

4)      Perasaan

Kata dalam baris puisi yang membentuk citra perasaan dalam benak pembacanya.

Contoh:

Laju kereta semakin cepat

Berpacu dengan rinduku yang begitu kuat

Senin, 15 Mei 2023

CERPEN TRAGEDI I

AKU MENCINTAIMU, SRI 
(Modifikasi cerpen "Ubin" karya Ardhi El Mahmudi)

Setelah sholat subuh, Parto sengaja tak segera pulang meski masjid sudah sepi, tinggal dia dan Haji Bakir, imam masjid yang sedang khusyuk berdzikir. 
Ia sandarkan punggungnya ke salah satu tiang masjid, diam terpejam layaknya orang yang sedang bertafakur atau berdzikir dalam hati. 
Tapi sebenarnya, ia sedang bergelut dengan pikirannya sendiri, sibuk menerka. 

 “Mungkin Sami’un punya,” gumamnya lirih. 
“Tapi... istrinya kan baru aja melahirkan. Ndak mungkin dia punya simpenan. Kalau Tardi... Ah, ndak mungkin juga. Harga lombok lagi jatuh. Kalaupun ada, ndak tega aku,” terkanya seraya menggelengkan kepala. 
“Sastro. Ya, bos tambak itu pasti punya. Tapi... aku dengar sekarang dia pake sistem rentenir. Ah, ndak sudi aku berurusan sama lintah darat.” 

Parto kembali menggelengkan kepalanya. 
“Apa harus ke Kandar lagi? Ah, Kandar. Utangku yang kemarin untuk ngobati asma si mbok aja belum kubayar,” desah Parto yang kemudian membuka dan memejamkan matanya kuat-kuat. 

Kalau bukan karena istrinya yang terus merengek, mungkin dia tak perlu repot mengira-ngira kondisi keuangan teman-temannya. 
Ia seperti tak berdaya. 
Besarnya rasa cinta pada sang istri, seolah membuatnya tak mampu melawan kehendak istrinya meski ia telah berusaha memberikan pemahaman apa adanya. 

“Mas, mbok ya rumah ini dikeramik. Mas ini kan sudah lama jadi pegawai, mosok lantai rumahnya masih tanah. Apa ndak malu?” 
“Belum ada uangnya, Sri. Aku ini kan cuman pegawai kecil. Golonganku masih rendah. Gajiku berapa, sih? Buat makan aja ndak bersisa, kadang malah kurang. Sabarlah dulu, Sri! Kita nabung dulu.” 
“Utang kan bisa, Mas!” 
“Utang kita sudah banyak, Sri....” 
“Kasihan thole, Mas. Dia ini kan sekarang udah mulai belajar merangkak. Kalau lantainya masih tanah, kan ndak bagus buat dia, Mas, ndak bersih, ndak sehat, banyak debunya. Bisa-bisa... nanti dia malah penyakitan.” 
Argumentasi itulah yang membuatnya merasa tak berdaya untuk tidak berutang lagi. Namun hingga pagi itu, ia tak kunjung menemukan tempat untuknya berutang. Kalau pun harus pinjam lagi ke kantor, gajinya pasti akan tinggal separuh karena cicilan utang untuk biaya kelahiran anaknya saja belum lunas. Kalau tinggal separuh, untuk makan satu bulan saja tidak akan cukup. 

“Ada apa, le? Kok ndak pulang?” tegur Haji Bakir. 
“Eh, e... ndak apa-apa Mbah Haji, lagi pengin nyantai aja,” jawabnya sekenanya lantaran tak mengira kalau Haji Bakir telah ada di sampingnya. 
“Ada masalah apa di rumah? Cerita saja! Siapa tahu aku bisa membantu” 
Rasa tak enak hinggap di dada Parto mendengar pertanyaan Haji Bakir. Kalau ia cerita, Haji Bakir pasti akan membantunya. Padahal sejak dulu, ia dan ibunya sudah sangat sering merepotkan lelaki sepuh itu, terlebih saat ayahnya meninggal dunia sepuluh tahun lalu. 

“Kok diam? Ndak usah bohong! Aku bisa tahu kalau sekarang kamu lagi ada masalah. Ceritalah! Aku akan bantu selagi aku bisa.” 
“E... Iya, Mbah, masalah kecil aja, masalah biasa dalam rumah tangga.” 
“Masih ndak mau cerita?” 
Parto terdesak, tak kuasa dengan sikap peduli guru ngajinya itu. Ia pun lalu menceritakan kepelikan masalah yang telah membuat pening kepalanya. 
“O...h, itu toh? Kalau kamu mau, pakai aja semen sama pasir di rumah! Kebetulan ada sisa mbaiki dapur kemarin,” tawar Haji Bakir yang membuat Parto jadi serbasalah. 
“E... Ndak usah, Mbah! Biar nanti saya …” 
“Cari utangan? Utang itu bikin hidup ndak tenang, To... Sudahlah, ambil aja semen sama pasir di rumah! Atau mau sekalian aku yang antar ke rumahmu?” 
“Eh, ndak usah, Mbah! Biar saya saja yang ambil.” 

* * * 

Parto lega, kini lantai tanahnya tak lagi berdebu. 
Meski sederhana, itu cukup membuat anaknya leluasa bermain di lantai. 
Lebih dari itu, semen dan pasir pemberian Pak Haji yang ia anggap sebagai utang budi yang tetap harus dibayar itu, akhirnya bisa menghentikan rengekan istrinya. 
Tapi kelegaan itu tak lama ia rasakan. 
Hanya berselang empat hari, pagi sebelum ia berangkat ke kantor, mulut istrinya kembali bersuara, merengek. 

“Mas, pulang kerja nanti beli ambal, ya! Lantainya dingin.” 
Parto bergeming, tak menanggapi, hanya bisa menahan kesal dan heran. 
“Kasihan thole, Mas, kemarin dia masuk angin karena tiduran di lantai.” 
“Ya jangan tidur di lantai! Di kasur kan bisa.” 
“Si Mbok juga sering ngeluh dingin kalau lagi duduk-duduk di lantai, Mas. Kalau kedinginan, asmanya bisa kambuh nanti, rematiknya juga.” 
Parto tak kuasa menahan marah, namun lebih tak kuasa lagi mendebat istrinya. 
Ia pun hanya bisa mencari jalan tengah. 
“Ya sabarlah dulu, Sri!” 
“Utang kan bisa, Mas!” 
“Astaghfirullah, Sri... Sri! Harus berapa kali aku bilang? Utang kita itu sudah banyak. Utang ke kantor aja belum lunas. Belum lagi utang sama Kandar. Kemarin, belum ada seminggu, kita make semen sama pasir Mbah Haji yang juga harus kita kembalikan.” 
“Mbah Haji itu ngasih! Mas aja yang sok-sokan mau ngembalikan, ndak mau menerima pemberian orang.” 

Parto tak kuat lagi. Ia pun memilih untuk bergegas. 
“Sudahlah, Sri! Aku kerja dulu. Assalamu’alaikum!” 

* * * 

 Sore itu Parto pulang lebih lambat dari biasanya. 
Ia harus menyiapkan acara peringatan hari besar di kantornya. 
Rasa lelah dan lapar pun tak terelakkan. 
Karena itu, ia pun bergegas setelah memarkir sepeda motor peninggalan ayahnya. 
Tapi ketika ia hendak melapas sepatu di depan pintu rumahnya, rasa lelah dan laparnya seolah pergi tak berbekas ketika mendapati keadaan lantai rumahnya yang telah berubah. 

“Ambal siapa ini, Sri?” tanyanya terkejut. 
“Ya ambal kita, lah! Memangnya ambal siapa?” jawab Sri ketus. 
“Kamu beli pakai apa? Uang dari mana? Kamu utang ke siapa?” cecar Parto penuh selidik dan geram. 
“Sabar, sabar! Kalau nanya itu mbok ya satu-satu. Ini bukan ambal utangan. Ini kreditan.” 
“Apa bedanya...? Aku kan sudah bilang, ndak usah beli ambal dulu! Kamu kok ngeyel, sih?” 
“Ngeyel gimana? Nanti kalau si thole masuk angin, ujung-ujungnya cari utangan juga buat berobat, toh?” 

Seperti biasa, Parto hanya bisa diam meski ia kesal dengan sikap istrinya. 
Ingin rasanya ia membentak sekadar untuk menunjukkan ketegasan pada wanita yang sangat dicintainya itu. 
Namun jika ia ingat dua hal, amarahnya pasti luluh. 
Hal pertama yaitu perhatian, kasih sayang, dan rasa hormat yang telah diberikan istrinya pada si mbok, ibunya yang kini mulai rentan sakit. 

Hal kedua, janji untuk berusaha sebisa mungkin membahagiakan istrinya. 
Janji itulah yang harus ia sanggupi jika ingin menikah dulu. 
Kala itu, Sri sebenarnya sudah punya laki-laki pilihan hatinya, namun tak mendapat restu orang tuanya. 
Ayahnya lebih memilih Parto karena perangai alim Parto meski secara ekonomi, ia hanya pegawai rendah. Sri hanya bisa menurut ayahnya. 

Namun hatinya yang tidak bisa menerima Parto begitu saja, membuatnya mengajukan syarat yang harus dipenuhi Parto, yaitu janji untuk selalu berusaha membahagiakan dirinya. 
Parto yang hatinya dipenuhi rasa cinta, menyanggupi janji itu. 
Ia begitu mencintai istrinya karena terpikat pada pesona kecantikan istrinya. 

Meski telah dinasihati secara halus oleh Haji Bakir agar menikahi wanita karena pesona akhlaknya, ia tetap dengan perasaan hatinya yang ia sebut dengan cinta, cinta yang ia anggap akan selalu mampu menjadi penyemangat hidupnya. 
Ia sampaikan pula pada Haji Bakir bahwa keputusannya menikahi Sri yang hedonis itu ia anggap sebagai jalan untuk membimbing Sri menjadi lebih baik. 

* * * 

 “Mas, pijitin, dong! Aku capek habis nyuci ambal. Tadi pagi thole ngompol di ambal.” 
Parto yang baru saja duduk untuk menghilangkan lelah sepulang dari kantornya, tak mampu bersuara meski hatinya sedih. 
Ia yang merasa lebih berhak untuk dipijit, justru harus memijit lengan dan pundak istrinya. 
Namun itu tak terlalu membuatnya kesal. 
Istrinya yang telah mengambil putusan secara sepihak untuk mengkredit ambal di tengah kondisi utangnya yang telah menumpuk, seperti tanpa beban, mulai merengek lagi, makin membuat kesal hatinya. 

“Pasang keramik aja ya, Mas, biar tinggal dipel kalau kena ompol.” 
“Keramik itu dingin. Kalau dingin, nanti thole masuk angin, asma Si Mbok kumat, rematiknya juga,” jawab Parto mengembalikan omongan istrinya. 
“Ndak, kok! Di tempat Yu War ndak dingin-dingin banget,” sergah Sri yang sepertinya sudah mengira kalau suaminya akan berkata seperti itu. 
“Kamu ini kok ngeyel, toh? Itu bukan keramik, itu maple wood,” timpal Parto sekenanya karena kesal dengan istrinya yang seperti tak pernah mau menurut padanya. 
“Ya udah, pasang maple wood aja!” 
“Itu mahal, Sri, bisa-bisa kita harus jual rumah dulu,” jawab Parto yang mulai geram. 
“Mosok sampai jual rumah? Utang kan bisa!” 
Mendengar itu, Parto langsung menghentikan pijitannya. 
Tangannya bergetar, mengepal perlahan menahan geram. 

Namun di tengah kegeramannya itu, ia justru mulai sadar bahwa ia telah terjebak oleh egonya sendiri, ego ingin menikahi wanita yang ia cintai karena kecantikan wajahnya. 

“Sri, sebagai suami, aku ingatkan kamu agar kamu nurut sama suamimu! Jangan lagi kamu minta ini itu sampai utang-utang kita lunas semua! Jangan lagi kamu memutuskan apa pun tentang rumah tangga kita tanpa sepersetujuanku! Paham kamu?” bentak Parto yang ingin menunjukkan sikap tegasnya sebagai seorang suami, seorang kepala rumah tangga. 

Namun ia justru terdiam ketika melihat istrinya membalikkan badan, dan tersenyum sinis seraya berucap, “Mana janjimu?” 

*** 

Acara peringatan hari besar nasional di kantor Parto akan dilaksanakan esok. 
Sore itu, hampir seluruh persiapan acara telah dilakukan panitia, tinggal hal-hal kecil yang bersifat teknis. 
Parto yang menjadi anggota perlengkapan, mendapat tugas menyiapkan bensin sepuluh liter untuk generator sebagai antisipasi kalau terjadi pemadaman listrik saat acara berlangsung. 
 Namun karena hari sudah sore, Parto memutuskan untuk membeli bensin itu sekalian ia pulang ke rumah agar tidak bolak-balik ke kantor. 
Besok saat berangkat kerja, barulah ia bawa lagi bensin itu ke kantor. 
Lagi pula, ia ingin segera istirahat karena tubuhnya terasa sangat lelah lantaran tugas sebagai anggota seksi perlengkapan yang harus mengangkat dan memasang seluruh perlengkapan acara. 

Sebenarnya, bisa saja ia membeli bensin itu besok pagi sebelum ke kantor. 
Namun agar besok tidak terburu-buru, ia putuskan untuk membeli bensin itu saat pulang, lalu istirahat di rumah tanpa beban pikiran. 
Namun sesampainya di rumah, pikirannya justru kacau. 
Teras rumah yang biasanya hanya dihiasi dengan bangku kayu panjang, kini dipenuhi tumpukan kardus persegi dengan jumlah yang banyak. 

Tak ayal, tubuhnya lemas seketika, bergetar menahan geram yang kini sudah di ujung kepala. 
Meski begitu, ia tetap berusaha sekuat tenaga untuk bisa mengendalikan dirinya, menahan diri. 

“Assalamu’alaiku...m! Apa ini, Sri?” selidik Parto langsung pada istrinya, tanpa basa-basi. 
Meski belum melihat langsung keberadaan istrinya di dalam rumah, ia bisa memastikan kalau istrinya pasti ada di dalam karena sore-sore seperti itu, istrinya pasti sedang beres-beres rumah, sementara ibunya pasti sedang mengajak si thole jalan-jalan sore ke tetangga hingga menjelang maghrib. “

Wa’alaikum sala...m! Maple wood,” jawab istrinya dengan suara datar, namun jelas membuat Parto tak lagi bisa bersikap datar. 
“Astaghfirulla...h! Uang dari mana lagi, Sri...?” 
“Dari Kang Sastro.” 
“Rentenir itu?” 
“Bunganya kecil aja... cuma dua persen.” 
Mendengar kata bunga pinjaman, Parto tak mampu lagi menahan diri. 

Kekesalannya yang telah memuncak, tak lagi bisa ia kendalikan. 
Terbayanglah seluruh utangnya: utang di kantor yang belum lunas, utang dengan Kandar yang belum juga ia bayar, semen dan pasir Haji Bakir yang ia anggap sebagai pinjaman yang harus dikembalikan, kredit ambal yang bahkan belum sampai pada cicilan pertama, dan sekarang ditambah lagi dengan utang berbunga pada Kang Sastro untuk membeli tumpukan maple wood yang tentu jumlahnya sangatlah besar. 

Bukan hanya itu. 
Hal lain yang baginya lebih prinsip, yaitu ketidakmauan istrinya untuk taat padanya, taat pada perintahnya sebagai kepala rumah tangga. 
Ia pun kalap, memaki istrinya. 
“Kamu kelewatan, Sri! Istri macam apa kamu?” bentak Parto yang tangannya bergetar, menggantung antara akan diayunkan dengan ditahan. Sri yang sedikit terkejut dengan sikap suaminya yang tidak seperti biasanya itu, justru tak kalah gertak. 

“Seenaknya aja bilang aku istri macam apa! Ngaca sana! Suami macam apa kamu ndak bisa menuhi kebutuhan hidup keluarganya? Suami macam apa kamu ndak bisa pegang janji yang ....” 
Plak!!! 
Satu tamparan keras Parto akhirnya mendarat di pipi Sri yang sebenarnya sangat ia cintai. 

Sementara Sri yang merasa tidak terima atas perlakuan suaminya, seketika meraih gunting yang tergantung di tembok ruang tamu rumah mereka, dan langsung mengayunkan tangan kanannya yang memegang gunting, tanpa berkata sepatah kata pun. 
Tatapan matanya tampak dipenuhi kebencian. 
Amarah telah telah menguasai dirinya. 

Melihat itu, Parto segera berusaha menguasai keadaan seraya menghindar dari amukan istrinya. 
Hingga pada posisi yang tepat, tangan kirinya pun bisa menangkap pergelangan tangan kanan isrinya. 
“Sudah, Sri! Sudah! Eling” 
Sri tak acuh lagi. 
Ia justru meronta. 
Sebisa mungkin ia melepaskan tangannya. 
Dicakarnya tangan suaminya dengan tangan kirinya. 
Bahkan kakinya pun ia tendangkan ke arah suaminya. 

Sementara Parto yang sudah bisa menguasai dirinya, berusaha untuk memeluk istrinya sebagai tanda bahwa ia ingin mengakhiri pertengkaran itu. 
 “Sudah, Sri! Sudah! Aku minta maaf. Aku yang salah. Maafin aku!” bujuk Parto dengan tangan kanan yang tampak berusaha merangkul istrinya. 

Sri masih memperlihatkan wajah bengisnya meski tangan dan kakinya tak lagi ia gerakkan. 
Perlahan, Parto pun mulai mencoba menenangkan istrinya, memeluk dengan raut memohon. 
Sementara Sri yang masih dengan tatapan kosong, masih saja bergeming. 
Namun saat Parto sudah merasa berhasil menenangkan Sri dalam pelukannya, Sri berkata lirih dengan tatapan mata yang begitu serius, 

“Ceraikan aku! Aku udah ndak sudi hidup miskin karo kowe.” 
Mendengar ucapan itu, kedua mata Parto seketika melotot. 
Rahangnya mengeras. 
Napasnya berpacu. 
Tangannya bergetar hebat. 

Lelaki alim itu tampak seperti kerasukan, kehilangan kendali. 
Ia tak menyangka, hinaan seperti itu justru keluar dari mulut orang yang sebenarnya sangat ia cintai hingga membuat harga dirinya seperti terinjak-injak. 
Harkat dan martabatnya sebagai seorang laki-laki seperti tercabik-cabik. 
Rasa marah dan kecewanya begitu luar biasa. 
Hatinya hancur. 
Kesabaran yang selama ini ia jaga seperti hilang tak lagi bersisa, berganti menjadi amarah yang siap meledak, tak tertahankan lagi. 

Perlahan, ia longgarkan pelukannya. 
Pandangan matanya kini bertemu dengan pandangan mata istrinya. 
Melihat wajah istrinya, kecamuk hatinya kian menjadi. 

Satu sisi, ia sangat tidak terima direndahkan. 
Namun di sisi lain, hati kecilnya sangat mencintai istrinya. 
Kecantikan wajah istrinya kembali membuatnya terbelenggu. 
Maka dengan suara bergetar, ia bertanya lirih pada istrinya. 

“Kamu kok tega ngomong gitu, Sri?” 
Mendengar pertanyaan itu, Sri justru terlihat makin geram. 
Rahangnya turut mengeras. 
Tak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibirnya. 
Matanya tajam menatap suaminya. 
Ia meronta, tampak lebih kerasukan daripada suaminya. 
Adu tenaga pun tak terelakkan lagi. 

Sementara Parto yang mendapat reaksi seperti itu, tampak benar-benar tak bisa lagi menguasai amarahnya. 
Seraya mengimbangi gerakan istrinya, ia luapkan kekesalan yang selama ini ia pendam dalam-dalam, kekesalan yang biasanya masih bisa dikalahkan oleh besarnya rasa cintanya pada sang istri. 
Namun kali ini, ia rasa menjadi saat yang tepat untuk mengungkapkannya. 
Bukan hanya sebagai bentuk klarifikasi. 
Lebih dari itu, inilah saat yang tepat untuk membungkam ego istrinya bahwa selama ini ia rela menjadi suami yang seperti tidak punya harga diri hanya demi keutuhan rumah tangganya. 

“Kamu pikir aku bodoh? Anakmu itu lahir kurang dari sembilan bulan usia pernikahan kita. Dan juga sampai hari ini, ndak ada satu pun tanda-tanda kemiripannya denganku. Itu pasti bukan anakku kan? Itu pasti hasil hubunganmu sama pacarmu yang dulu itu kan?” 

Seketika Sri mengerang, meronta sejadi-jadinya. 
Ia bentur-benturkan kepalanya ke arah muka Parto. 
Kakinya pun tak beraturan mencoba menginjak-injak kaki suaminya. 
Bahkan sesekali ia tampak berusaha untuk mengayunkan lutut kanannya ke arah selangkangan orang yang sekarang sudah sangat ia benci, orang yang selama ini tidak pernah bisa menumbuhkan rasa cinta dalam hatinya, tak akan bisa menggantikan posisi kekasihnya yang dulu. 

Aksi gulat pun kini makin nyata terlihat. 
Kedua insan yang sejatinya harus saling mengasihi itu pun sudah kehilangan kontrol diri. 
Sri terus mengerang dan sesekali bisa memberikan perlawanan. 
Namun Parto yang secara tenaga jauh lebih kuat, jelas lebih mendominasi. 
Tangan kanannya yang semula hanya memegang pergelangan tangan kiri istrinya, beralih mencengkeram leher istrinya, lalu mendorongnya ke arah dinding. 

Kini justru Parto yang mengerang dengan mata terpejam hingga tampak gigi-giginya. 
Sri pun meronta. 
Tangan kirinya berkali-kali berusaha melepaskan cengkeraman tangan kanan suaminya meski tak berhasil. 
Mukanya kini memerah. 
Matanya terbelalak. 
Tenaganya pun terus melemas hingga akhirnya tak berdaya lagi. 

*** 

 Parto terduduk lemas di lantai ruang tengah rumahnya yang sederhana. 
Pahanya memangku jasad Sri, istrinya yang sangat ia cintai. 
Air matanya berurai. 
Pandangan matanya kosong. 
Bibirnya bergetar. 
Perlahan, kepalanya menunduk. 
Dipandanginya lekat-lekat wajah istrinya. 
Dibelainya kening dan pipi lembut istrinya, penuh kasih sayang. 
Dengan bergetar dan sambil menahan isak, ia coba berucap sesuatu. 
“Aku mencintaimu, Sri. Aku mencintaimu. Maafin aku yang tadi ndak bisa nahan diri!” 

Parto berhenti berucap. 
Namun, tangan kanannya terus mengelus wajah istrinya seraya menghapus air matanya yang juga jatuh ke wajah istrinya. 
“Kalau kamu masih ragu, tunggu sebentar di sini! Akan kubuktikan kalau aku sangat-sangat mencintaimu.” 
Parto pun bangkit perlahan. 
Ia langkahkan kaki gontainya menuju ke teras rumahnya. 
Diambilnya jeriken berisikan sepuluh liter bensin yang baru saja ia beli untuk keperluan acara di kantornya. 
Ia siramkan isi jeriken itu ke sekujur tubuhnya dan istrinya hingga habis tak tersisa. 
Dengan gemetar, tangannya meraih korek api di kolong bufet yang biasa digunakan untuk membakar obat nyamuk. 
Sambil mendekap jasad istrinya, ia nyalakan korek itu hingga seketika api yang menyala itu langsung menyambar cairan bensin yang berhamburan di ruang tengah rumah sederhana itu. 

***


Cerpen Ubin yang asli dapat dilihat di sini.

TEKS PROSEDUR

A.    Pengertian teks prosedur Teks (informasi) yang berisikan cara atau aturan dalam melakukan sesuatu   B.    Struktur teks prosedur...