BELAJAR BAHASA INDONESIA
Senin, 13 Januari 2025
CERPEN TRAGEDI IV
Minggu, 12 Januari 2025
CERPEN TRAGEDI III
PESAN ABAH
Kelak akan selalu kuingat. Pagi itu, ketika sinar matahari terasa begitu hangat, ketika desir
angin khas musim kemarau seolah mampu menghadirkan kesejukan tersendiri bagi setiap mahluk, dan ketika suara kicau burung bersautan di
ranting-ranting ketapang yang ada di depan dan di samping rumah nenek, perasaanku justru
kian tak menentu. Langkahku gontai ketika aku diminta
masuk ke ruang keluarga rumah nenek, tempat abah dibaringkan sepulang dari rumah sakit setelah dokter
memberi vonis bahwa jantung abah yang
kekurangan oksigen, tak akan lagi mampu bertahan. Dokter juga berkata,
paru-paru abah yang bertabir, tak kan
lagi bisa bekerja sebagaimana mestinya. Tabir itu berasal dari asap yang terhirup dari hari ke
hari, minggu ke minggu, bahkan bulan ke bulan. Karena vonis itulah, abah ingin mengembuskan napas terakhir
di rumah nenek, rumah yang menjadi tempat lahir abah puluhan tahun silam.
Di
ruang tengah itu, sekilas kulihat kedua julak-ku berdiri di samping balai, tempat abah dibaringkan. Semuanya tertunduk dan terisak. Di ujung balai, tepat di samping kepala abah, tampak mamak dan nenek sedang berusaha memandu abah
mengucapkan kalimat takbir dan syahadat. Sementara abah yang terbaring di atas balai sederhana, balai yang biasa dipakai untuk menonton TV, hanya mampu
menggetar-getarkan kedua bibirnya dengan pandangan mata yang sepertinya kosong. Itulah fragmen yang
membuat hatiku
merintih, “Begitukah rupa orang yang akan meninggal?”
Ah, selamanya tak kan mungkin kulupa. Dengan tubuh bergetar, pagi itu aku pun berusaha untuk meminta maaf pada abah sebelum ia benar-benar pergi. Ingin
sekali lisanku berucap, memohon maaf atas segala tingkah nakal yang pernah kuperbuat.
Ingin sekali bibirku
yang terkatup, bisa mengungkapkan sebaris kata-kata penyesalan atas berbagai
kekurangajaran yang pernah kulakukan. Namun setelah meraih tangan abah yang mulai terasa dingin, tak ada
sepatah kata pun yang mampu kuucap. Lidahku terasa kelu. Bibirku hanya mampu bergetar karena terus
menahan tangis. Aku tak kuasa menyaksikan pemandangan itu, detik-detik yang mungkin akan menjadi
akhir dari kehidupan seorang manusia. Dan yang membuat batinku begitu
terhenyak, manusia itu tak lain adalah orang tuaku sendiri, sosok nomor satu yang paling kubanggakan dalam hidupku.
Maka, detik demi detik
itu pun akan terekam jelas dalam benakku. Dengan terus berusaha menahan isak tangis, kutempelkan keningku
di tangan abah dengan hati yang kian
merintih, “Abah, maafkan aku!” Ya, itulah sebaris kalimat yang benar-benar keluar dari hatiku
meski tak mampu terucap. Karena sungguh, tak mampu lagi bagiku melihat rupa abah yang sedang berjuang menghadapi
saat-saat terakhir dalam hidupnya, sekarat. Sesegera mungkin aku pun berusaha untuk berdiri. Dengan air mata yang kian berlinang, kulangkahkan kakiku yang
kian bergetar, kembali menuju ke ruang tamu rumah nenek.
Entahlah. Sekeluar aku dari ruang itu, angin yang sebenarnya berembus keluar
masuk dari jendela ruang tamu rumah nenek, seketika seolah berhenti. Suara para
kerabat dan tetangga nenek yang
melantunkan ayat-ayat suci Al Quran, tiba-tiba seperti tak lagi dapat kudengar.
Kedua kaki yang
semula masih agak kuat menopang berat badanku, seakan menjadi nyata tak bertulang.
Tubuhku benar-benar terasa lemas. Namun di tengah kesadaranku yang kian melemah, aku masih bisa
merasakan ada seseorang yang
menyangga tubuhku. Seseorang yang kemudian kukenali sebagai acil, memapahku hingga aku merasa tubuhku terduduk di atas sofa ruang tamu rumah nenek.
Sungguh, kenangan pagi itu tak kan pernah
bisa sirna. Berulang kali acil membisiki telingaku, menyuruhku ber-istighfar, berserah diri, dan berusaha menerima takdir dengan
ikhlas. Namun setelah itu, sebelum aku benar-benar mampu berucap seperti yang ia contohkan, aku merasa
dunia kala itu begitu gelap. Napasku seperti tercekat. Aku tak sadarkan diri.
¯¯¯
Kelak akan selalu bersemayam dalam benak.
Di luar alam sadarku, aku seperti
berada di rumahku,
rumah yang dibangun tahap demi tahap dari gaji abah sebagai guru di sekolah dasar pinggiran Kota Palangka,
Kalimantan Tengah. Ya,
sejak lulus kuliah, abah memang merantau
dari Kalimantan Selatan ke Kalimantan Tengah untuk mencari peluang menjadi pegawai
negeri sipil di kota yang kini bersahabat dengan asap. Padahal tertulis jelas
dalam sejarah, kota kelahiranku itu pernah digagas oleh presiden pertama negeri
ini menjadi ibu kota negara, menggantikan Jakarta yang penataan kotanya kurang
terencana. Namun kini, kotaku yang secara geografis memang berada di
tengah-tengah wilayah NKRI itu seperti nyata terabaikan.
Setelah rencana abah tercapai, abah lalu
menikah dengan mamak atas saran nenek
yang ingin menjadikan mamak sebagai
bagian dari keluarga. Kala itu, mamak
yang yatim piatu, bekerja membantu nenek berjualan nasi kuning. Nenek merasa
nyaman dengan mamak yang pekerja
keras, namun di sisi lain berperangai lembut. Secara fisik, meski tidak begitu
cantik, mamak memiliki wajah teduh dengan
senyum yang menenangkan. Karena itulah, abah
langsung mengiyakan saran nenek.
Seiring perjalanan waktu, ikatan batin abah dan mamak pun kurasa makin kuat. Semua aku tahu dari abah yang kerap menyelipi wejangan hidup
dari cerita kehidupan nyata abah dan mamak. Abah kerap tak merasa sungkan bermanja pada mamak di depan aku dan ading.
Begitu pun mamak, meski terkesan
lebih pandai menutupi perasaan, mamak
jelas selalu menomorsatukan abah dalam hal kebutuhan. Semua itu mamak lakukan bukan sebatas bentuk
penghormatan kepada seorang suami. Lebih dari itu, cintalah yang mendasari mamak dalam melayani abah.
Dengan cinta itu pulalah aku tumbuh
mengarungi hidup. Meski tanpa harta melimpah, aku bisa merasa bahagia menikmati
hidupku bersama keluargaku. Hingga pada bulan kelima musim kemarau tahun ini,
ketika asap mulai menyelimuti seluruh wilayah Kota Palangka, kebahagiaan itu
seolah menjauh dari kami.
Secara swadaya, abah memutuskan untuk mengungsikan mamak, aku, dan ading ke
rumah nenek di pinggiran Kota Intan, Kota Martapura, Kalimantan Selatan.
Sementara abah, memilih untuk
bertahan di Palangka, bergabung dengan relawan-relawan lain untuk bahu-membahu
membantu petugas memadamkan hutan yang terbakar. Kami pun terpisah meski kata abah itu hanya untuk sementara. Menurut
abah, para pembakar hutan itu memang jahat. Makanya, kalau kita ngaku baik, kita tidak boleh diam saja. Apalagi,
kemarau tahun ini lebih lama dari biasanya. Maka lebih baik menjadi sebatang lilin
meski hanya bisa memberi secercah cahaya, daripada hanya bisa mengutuk
kegelapan.
Namun saat itu, saat aku berada di luar
alam sadarku, semua terlihat begitu berbeda. Tak ada asap di sekitar rumahku. Arah
pandang pun tampak jelas ke segala penjuru. Di situ, di luar alam sadarku, abah mengenakan kemeja putih lengan
panjang, kemeja yang sering aku lihat di TV dikenakan oleh orang-orang yang
katanya penting di negeri ini. Untuk apa abah
berkemeja seperti itu?
“Abah handak tulak. Ikam kada usah umpat. Jagai haja mamak ikam! Ingati
pesan abah! Ikam ni kepala keluarga amun
abah kada di rumah. Paham lah ikam?”
Aku hanya bisa mengangguk, lalu tertunduk
mendengar pesan abah. Abah memang selalu berpesan seperti itu
padaku. Pesan itu juga abah berikan
ketika melepas kepergian kami ke rumah nenek. Tapi, kenapa abah hanya
memintaku menjaga mamak? Bukankah
biasanya abah selalu memintaku
menjaga mamak dan ading?
Kutegakkan kepalaku perlahan. Ingin kutahu
alasan abah berpesan seperti itu.
Tapi bukan jawaban yang kudapat, aku justru makin tak paham dengan yang
terjadi. Abah yang sebelumnya berdiri
tepat di depanku dengan kemeja putih lengan panjang itu, hilang tak berbekas.
Kulihat ke sekeliling, tak ada siapa pun. Kususuri ruang tamu dan ruang tengah
rumahku, abah tetap tak ada.
Di tengah kebingunganku, tiba-tiba
terdengar suara yang sangat berisik dari arah kamar mandi. Suara itu seperti
suara palu yang dihujamkan berkali-kali dengan sekuat tenaga. Sesegera mungkin,
aku pun menuju ke arah sumber suara itu. Di sana, kudapati abah sedang memalang pintu kamar mandi dengan kayu yang berlapis-lapis.
Abah seperti hendak mengunci mati
pintu kamar mandi itu.
“Bah! Abah! Apa diulah, Bah?”
tanyaku antara tangis dan teriak, namun abah
tak menjawab, hanya berhenti memalu. Ditundukkannya pandangan matanya
dalam-dalam, lalu perlahan mengarahkan pandangan itu padaku, tajam.
“Jagai
mamak ikam! Lakas jagai mamak ikam! Jagai mamak ikam!”
Meski kutahu abah akan makin marah kalau melihatku benar-benar menangis, namun
aku hanyalah anak dengan rasa takut yang tak mungkin tertahan jika melihat abah seperti itu. Rintihku pun pecah,
menyebut nama abah dengan harap abah tak lagi berlaku seperti itu.
¯¯¯
“Aba...h! Aba...h! Aba...h!” rintihku menyebut abah.
“Sabar, Yansyah! Saba...r! Ikhlaskan abah ikam! Ikhlaska...n!” lamat-lamat bisik
acil terdengar di telingaku, berpadu
dengan suara orang-orang mengaji. Mungkin itulah saat aku mulai merasa kalau aku
telah kembali ke alam sadarku. Kepalaku berbantal. Tubuhku terbaring di atas
sofa ruang tamu rumah nenek.
“Abah, Cil. Mana abah, Cil?”
“Iih,
Yansyah. Iih. Abah ikam sudah tenang. Ikam
ikhlasi haja...!
Aku tak terlalu paham dengan maksud acil. Meski kelak, aku pun merasa bahwa saat-saat
itu akan menjadi penggalan tragedi hidup yang akan tertanam dalam sanubariku.
Yang aku tahu saat itu hanyalah abah yang
sekarat, lalu berulang kali menyuruhku untuk menjaga mamak di luar alam sadarku. Karena itu, aku hanya ingin melihat abah. Ya, abah. Di mana abah?
Kucoba angkat tubuhku yang masih terbaring
di atas sofa. Aku hanya ingin memastikan kondisi abah yang kulihat berbeda di luar alam sadarku, lalu bertanya
maksud abah yang berulang kali
menyuruhku menjaga mamak. Namun baru saja aku berusaha menoleh
ke arah pintu yang menuju ruang tengah rumah nenek, aku melihat sesosok tubuh terbalut
kain putih, yang dibaringkan di atas balai kecil, tepat di tengah ruang tamu.
Seketika, tenggorokanku seperti kembali tercekat. Jantungku berdebar kencang. Badanku bergetar hebat. Bibirku merintih memanggil-manggil abah.
“Sabar,
Yansyah! Yang ikhlas! Abah ikam sudah
tenang di sana. Amun ikam kada ikhlas, kena ngalih jalan sidin di sana. Istighfar, Yansyah! Astaghfirulla…h al
azi…m! Astaghfirulla…h al azi…m!”
Mendengar itu, aku tak mampu lagi menguasai
diriku. Aku bahkan seperti tak lagi bisa merasakan tubuhku. Aku tak
lagi mampu mengeluarkan suara tangis. Hanya air mata yang sepertinya
mengalir begitu saja.
Duhai, kiranya nyanyian kematian telah menggema,
menghentak rumah tua kecil nenek, memutus
jalinan cinta suci abah dan mamak, serta mengubur tempatku mencontoh dan
bangga. Kini tiada lagi semua itu. Hanya kenanganlah yang akan tersisa.
Kematian. Kata itu pulalah yang
mengakhiri setiap kisah hidup manusia di dunia, menjadi sesuatu yang pasti
terjadi dengan apa pun yang menjadi penyebabnya. Tak ada sejengkal pun
tempat yang bisa menjadi pelindung dari kedatangannya. Karena
memang itulah ketetapan Ilahi, segala mahluk yang bernyawa pasti akan mengalami
kematian.
¯¯¯
Hari-hariku kini adalah hari-hari yang
pekat, melebihi pekat asap yang telah merenggut nyawa abah. Kini bukan saja aku tak lagi bisa melihat diri abah, senyum mamak pun seolah turut terkubur bersama jasad abah. Mamak kini jadi
sosok yang berbeda. Meski kami tetap tinggal dalam satu rumah, aku seperti tak
lagi bisa merasakan kehadiran mamak. Mamak kerap murung dan menyendiri.
Berbagai pemahaman pun telah diberikan untuk
membuat mamak bisa seperti dulu lagi.
Nenek, acil, dan juga julak sudah
silih berganti memberikan pemahaman bahwa abah
telah pergi karena tujuan mulia. Kepergian abah
tidak boleh diratapi terus-menerus, apalagi abah
pergi dengan akhir yang baik karena sempat berucap syahadat sebelum akhirnya
mengembuskan napas terakhirnya.
Namun mamak
yang sepertinya benar-benar telah kehilangan semangat hidupnya, tak lagi mampu berpikir
jernih. Pada saat-saat tertentu, mamak
justru pergi ke makam abah, duduk
bermonolog selama berjam-jam hingga kadang sampai tertidur seraya mendekap
makam abah.
Dari itu, aku mulai paham maksud pesan abah dalam alam luar sadarku. Abah memintaku untuk menjaga mamak karena mamak seperti tak bisa hidup tanpa abah. Besarnya rasa cinta mamak
pada abah kini justru menjadi
belunggu bagi mamak setelah abah tiada. Tapi apa yang bisa kulakukan
untuk menolong mamak kalau aku saja
tak lagi bisa merasakan keberadaan mamak?
Dalam kondisi serba-tak tahu seperti itu,
kuceritakan semua yang kualami dalam alam luar sadarku pada acil. Kuceritakan pesan abah yang sepertinya berkaitan dengan
yang terjadi pada diri mamak.
Kuceritakan pula tingkah aneh abah
yang mengunci mati pintu kamar mandi dengan palang-palang kayu.
Acil pun
mengangguk-anggukkan kepala, seperti paham dengan makna semua cerita yang
kualami dalam alam luar sadarku. Tanpa pikir panjang, acil lalu meminta julak
membuat pagar kayu untuk mengelilingi makam abah
dan makam kai yang berdampingan di
belakang rumah.
Sejak itulah, aku tak lagi melihat mamak bertingkah ganjil di atas makam
ayah. Perubahan itu tentu membuat kami lega, terutama nenek. Bagi nenek, itu
sudah cukup meski tubuh mamak terus
saja mengurus lantaran tak banyak makanan yang masuk ke dalam tubuh mamak. Menurut nenek, yang penting aku
mau bersabar mendampingi mamak.
Karena itulah, aku yang sebelumnya tak pernah tidur seranjang dengan mamak, kini membaur bertiga bersama mamak dan ading.
¯¯¯
Malam begitu dingin. Kandung kemihku jadi terasa penuh. Aku pun terbangun dari tidurku, tak kuat menahan,
harus ke kamar mandi. Kuihat di sebelahku
hanya ada ading. Mungkin mamak juga ke kamar mandi, pikirku.
Dengan
kesadaran seadanya, kucoba langkahkan kaki, seperti zombi. Kususuri ruang-ruang rumah dengan mata yang terasa berat kubuka. Dengan
langkah yang masih gontai, kubuka pintu kamar mandi dengan perlahan.
Namun
alangkah terkejutnya aku ketika melihat pemandangan yang ada di hadapanku,
pemandangan yang seketika mampu menghilangkan rasa kantukku menjadi tak
berbekas sama sekali, pemandangan yang membuat jantungku seperti tercabut dari
tempatnya, pemandangan yang membuatku ingin berteriak sekuat-kuatnya, membuat
jiwaku meronta sejadi-jadinya. Tepat di depanku, aku melihat tubuh mamak
tergantung kaku.
¯¯¯
CERPEN TRAGEDI IV
MALIN KUNDANG SI ANAK DURHAKA Sumber: www.cerita.web.id Dahulu kala, di Minang, Sumatera Barat, hiduplah sepasang ibu dan anak dalam kondisi...
-
MASJID KOTAK KOREK (Fadil Al Karsad) Aku terjaga ketika mendengar suara rintih istigfar berulang-ulang. Meski tak terlalu keras, suara...
-
A. Pengertian Informasi tentang peristiwa tertentu yang bersifat luar biasa, diliput secara aktual B. Unsur Teks Berit...
-
A. PENGERTIAN UNSUR INTRINSIK PROSA 1. Unsur berarti bagian 2. Intrinsik berarti pembangu...