Senin, 13 Januari 2025

CERPEN TRAGEDI IV

MALIN KUNDANG SI ANAK DURHAKA
Sumber: www.cerita.web.id

Dahulu kala, di Minang, Sumatera Barat, hiduplah sepasang ibu dan anak dalam kondisi yang miskin. Ibu itu bekerja apa saja demi bisa menghidupi diri dan anak semata wayangnya yang bernama Malin Kundang.
Meski hidup dalam kemiskinan, Malin tumbuh menjadi anak yang aktif, mudah bergaul, tanggap, dan cepat dalam menguasai keterampilan. Namun seiring waktu, kondisi keluarga itu tidak banyak berubah sehingga Malin yang tidak ingin terus hidup menderita, bertekad untuk merantau, ikut sebuah kapal dagang yang berlabuh di pantai dekat perkampungannya. Niat itu pun kemudian disampaikan kepada ibunya.
“Ibu, Malin ingin mencari pekerjaan yang lebih baik, pergi berlayar bersama saudagar yang Malin temui di tepi pantai kemarin."
“Malin, janganlah kautinggalkan ibumu yang sudah tua ini sendiri! Kalau kau pergi, siapa yang menemani ibu? Hanya kau yang ibu punya, Malin.”
“Tolong izinkan Malin pergi, Bu! Malin lakukan ini juga untuk Ibu, supaya Ibu tidak lagi harus susah payah mencari penghidupan.”
“Ah, kau membuat ibu sulit untuk memutuskan. Ibu tidak ingin kau pergi, tapi ibu juga tidak mungkin menghalangi kau yang ingin mengubah nasibmu, nasib keluarga kita. Maka, baiklah! Aku izinkan kau pergi. Tapi ingatlah satu hal, wahai Malin! Jangan sampai nanti kaulupa dengan ibumu ini! Jangan sampai kaulupa pula dengan tempat kelahiranmu ini!”

Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Dan tahun berganti tahun. Bahkan kapal yang singgah di pantai kampung kelahiran Malin itu pun telah datang dan pergi silih berganti. Namun dari itu semua, tak satu kapal pun yang membawa Malin, atau sekadar membawa kabar tentang dirinya. Kenyataan pahit itu pun membuat Ibu Malin kehilangan semangat hidup, dan mulai sakit-sakitan.
Hingga pada suatu hari, saat kondisi Ibu Malin sudah sangat lemah, berlabuhlah kapal dagang besar di pantai itu, pantai di dekat tanah kelahiran Malin. Kapal itu terpaksa berlabuh lantaran istri saudagar yang juga turut dalam pelayaran itu, hamil dan mengidam air kelapa.
Pada awalnya, saudagar pemilik kapal itu hanya memerintahkan anak buahnya untuk membeli kelapa muda milik salah satu warga. Namun melihat barisan pohon kelapa yang meneduhkan, istri saudagar itu mengajak suaminya untuk beristirahat di bawah barisan pohon kelapa sambil menikmati sejuknya air kelapa di tengah terik matahari siang. Meski pada awalnya menolak dengan alasan harus lekas meneruskan perjalanan yang masih jauh, pada akhirnya saudagar kapal besar itu pun menuruti permintaan istrinya.
Sementara warga kampung yang melihat berlabuhnya kapal besar di pantai mereka, langsung menyambut turunnya orang-orang dari dalam kapal itu. Orang-orang kapal itu terlihat asing oleh mereka. Hingga salah satu anak buah kapal yang menjadi juru bicara menyebutkan bahwa saudagar pemilik kapal besar itu, yaitu Tuan Malin, ingin bersantai di pantai sambil menikmati air kelapa bersama istrinya, barulah warga kampung itu saling tatap tidak percaya.
Malin yang selama ini selalu ditanyakan oleh Ibu Malin kepada setiap saudagar kapal yang singgah di pantai itu, kini disebut sebagai saudagar pemilik kapal besar. Salah satu warga kampung yang menjadi tetangga Ibu Malin pun langsung berlari pulang, hendak memberi tahu Ibu Malin bahwa anaknya yang telah menjadi saudagar kaya raya, kini telah pulang.
Mendapat kabar itu, semangat hidup Ibu Malin yang awalnya hampir mati, seketika seperti bertambah berkali-kali lipat. Sakit yang diderita pun seperti tak terasa lagi lantaran mendengar kabar yang selama bertahun-tahun ia nantikan. Bahkan yang lebih membuat ia senang dan bangga, kini anaknya telah menjadi saudagar kaya raya, pemilik kapal dagang yang besar.

Malin yang tidak ingin keberadaannya diganggu, memberi isyarat kepada anak buahnya untuk membagikan uang kepada warga, dan meminta mereka untuk kembali ke rumah mereka masing-masing. Warga yang mendapat uang secara cuma-cuma itu pun senang bukan kepalang. Namun salah satu orang yang sepertinya menjadi tetua kampung, menolak pemberian itu.
“Tidak, Tuan. Terima kasih. Saya hanya ingin berbicara dengan Tuan Malin barang sekejap. Boleh saya menemuinya sekarang, Tuan?”
“Tuan Malin tidak ingin diganggu. Beliau ingin menemani istrinya menikmati air kelapa di pinggir pantai ini. Kalau kau menginginkan pekerjaan, sampaikan saja padaku!”
“Tidak, Tuan. Bukan itu keperluan saya. Saya juga tidak bermaksud mengganggu. Saya hanya ingin menyampaikan hal penting kepada Tuan Malin secara langsung. Saya mohon, Tuan!”
“Baiklah! Tapi kalau sampai kau membuat Tuan Malin merasa terganggu, aku tidak akan segan menghajarmu.”
“Tidak, Tuan, tidak! Justru ini akan menjadi kabar gembira untuknya.”
Orang yang menjadi juru bicara kapal itu pun lalu menghampiri Malin yang sedang berjalan dengan istrinya di tepi pantai. Beberapa saat kemudian, juru bicara itu pun memanggil tetua kampung, dan memberi isyarat agar segera menyampaikan keperluannya, lalu lekas pergi. Tetua kampung pun langsung mengangguk-angguk, dan berlari kecil menghampiri Malin dan istrinya. Melihat tetua kampung yang tentu ia kenal, Malin berusaha untuk tetap bersikap tenang.
“E... Maaf, Tuan Malin. Tidakkah Tuan Malin ingin menemui ibu Tuan? Bertahun-tahun, ibu Tuan menanggung rindu ingin bertemu dengan Tuan.”
Mendengar itu, wajah Malin pucat seketika. Sementara istrinya, pun tak mampu menahan rasa kagetnya.
“Apakah Kanda masih memiliki ibu? Mengapa Kanda tidak pernah menceritakan itu pada dinda?” tanya istri Malin heran.
Malin hanya bisa terdiam. Ia gelisah, takut kalau istrinya mencampakkan dirinya setelah tahu bahwa ia berasal dari keluarga miskin yang tinggal di perkampungan pesisir. Padahal yang istrinya tahu selama ini, ia adalah saudagar kaya, berasal dari saudagar kaya pula.
Ia berbohong demi menjaga kehormatan kedua orang tua istrinya yang sudah menjadi mitra dagangnya. Ya, waktu itu Malin sudah menjadi saudagar yang bermitra dengan orang tua istrinya. Ia berhasil menjadi saudagar berkat kerja kerasnya. Bahkan ia pun bisa memiliki kapal dagang meski dengan ukuran yang tidak terlalu besar.
Namun dengan status saudagar yang telah ia sandang, ia tetap tidak akan bisa menikahi istrinya. Karena tradisi yang berlaku saat itu, tidaklah pantas seorang saudagar kaya raya berbesan dengan orang yang bukan saudagar kaya raya pula. Menyadari kuatnya tradisi itu, jadilah Malin berbohong demi bisa menikahi wanita yang telah menawan hatinya, putri mitra dagangnya sendiri.
Dan yang membuat ia semakin tidak berdaya, kapal dagang besar yang ia miliki sekarang ini, merupakan hadiah dari orang tua istrinya agar ia lebih mudah dalam mengembangkan perniagaan yang ia usahakan. 
Maka baginya saat ini, ia tak ubahnya seperti sedang mendapati buah simalakama. Kalau ia tidak mengakui ibunya, jadilah ia anak durhaka. Namun kalau ia mau mengakui, ia akan kehilangan wanita yang sangat ia cintai. Tidak hanya itu, kapal dagang besar pemberian orang tua istrinya pun pasti akan diminta kembali.

 “Kanda, mengapa diam? Apa yang terjadi? Apa yang Kanda pikirkan sehingga membuat Kanda berkeringat dingin seperti ini?” tanya istrinya yang makin heran melihat perubahan yang terjadi pada diri Malin.
“Ah, tidak apa-apa, dinda. Kanda hanya jadi teringat kedua orang tua kanda yang sudah lama meninggal.”
Jawaban yang keluar dari mulut Malin akhirnya bisa membuat istrinya kembali tenang. Namun tidak begitu bagi tetua kampung. Ia tersentak seketika mendengar pengakuan Malin yang tidak ia sangka-sangka.
“Tidak, Tuan Malin. Ibunda Tuan masih hidup. Ayahanda Tuan memang sudah lama meninggal sejak Tuan masih kecil. Tapi ibunda Tuan masih ada, masih menunggu kepulangan Tuan,” papar tetua kampung penuh iba.
“Hei! Apa kau tidak dengar ucapan Tuan Malin tadi? Tuan Malin sudah lama tidak memiliki kedua orang tua!” bentak si juru bicara kapal.
“Ah, aku tahu sekarang. Kau hanya pura-pura seperti ini agar Tuan Malin memberimu uang yang banyak, kan?” terka si juru bicara kapal seraya meraih kantung uang yang ia selipkan di ikat pinggangnya.
“Tidak, Tuan, tidak! Saya tidak seperti yang Tuan sangkakan,” rengek tetua kampung yang kedua tangannya menangkup, tanda bahwa dia bersungguh-sungguh memohon pengertian si juru bicara kapal.
Si juru masak yang merasa sudah memperingatkan tetua kampung agar tidak mengganggu tuannya, langsung berusaha menjauhkan tetua kampung dari tuannya. Namun di tengah usaha si juru bicara kapal mengusir tetua kampung, dari kejauhan terdengar suara wanita yang memanggil-manggil Malin.
“Malin! Malin Kundang, anakku! Kaukah itu? Ibu sangat merindukanmu. Kemarilah! Kemarilah! Ini ibumu.”
Seketika, Malin pun kaget bukan kepalang. Keringat dingin di kepalanya keluar semakin menjadi. Sebagai seorang anak, ia sangat ingin berlari merengkuh ibunya. Namun hatinya yang telah diselimuti rasa takut kehilangan istri yang sangat dicintai, membuat kakinya terpaku.
“Itu, Tuan. Itu ibunda Tuan,” ucap tetua kampung seraya menunjukkan tangan ke arah Ibu Malin yang terus berjalan mendekati mereka.
“Oh, Malin! Malin, anakku! Betapa senang hati ini. Akhirnya ibu bisa melihatmu lagi. Ibu sudah sangat merindukanmu. Tidakkah kau juga merindukan ibumu ini, anakku?” keluh Ibu Malin yang kini hanya berjarak beberapa langkah.
Namun juru bicara sangat sigap dalam melindungi tuannya dengan langsung menghalangi Ibu Malin.
“Tunggu, wanita tua! Ada perlu apa kau mendekat?”
“Aku ini ibunya, ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya.”
“Tidak mungkin! Kedua orang tua Tuan Malin telah lama meninggal. Kau jangan seenaknya mengaku-ngaku sebagai ibunya. Atau, kau juga sama dengan laki-laki ini, hanya ingin mendapatkan uang?”
“Aku tidak peduli dengan uang kalian. Malin! Malin, anakku! Siapa laki-laki kasar yang berlagak seperti algojo itu?” tanya Ibu Malin menunjuk si juru bicara kapal.
Ibu Malin pun terus mendekati Malin, ingin segera memeluknya, namun si juru bicara kapal menahan kedua pundak Ibu Malin hingga membuat Ibu Malin meronta.
“Lepaskan aku! Manusia macam apa kau ini hendak menghalangi seorang ibu yang ingin memeluk anaknya sendiri?”
Melihat keharuan itu, tetua kampung pun berusaha melepaskan tangan si juru bicara kapal dari pundak Ibu Malin. Sementara Malin, masih dengan sikap diamnya, tidak berdaya. Namun ketika istrinya yang mulai geram dengan sikap Ibu Malin, dan memintanya agar tidak hanya diam, meluncurlah kalimat dari mulut Malin yang begitu menyakitkan hati ibunya.
“Pergilah kau, wanita tua! Aku bukan anakmu. Aku Malin anak saudagar kaya yang telah lama meninggal. Pergilah! Pergilah sebelum aku mengusirmu dengan kasar!” perintah Malin dengan nada suara tenang namun tegas, dengan pandangan yang kosong lurus ke depan.
Kalimat itu langsung membuat ibunya lemas seketika. Ia jatuh terduduk. Tangan kanannya yang bergetar, diangkatnya dengan telunjuk yang mengarah ke anaknya yang berdiri tepat di hadapannya.
“Tidak! Tidak mungkin aku salah mengenali anakku sendiri. Aku kenal dengan raut wajahmu, tak asing dengan suaramu. Dan aku tidak akan mungkin lupa dengan luka di lengan kirimu, luka bekas goresan pisau yang kau rebut dariku untuk membuat tombak mainanmu dulu.”
“Malin! Sadarlah kau, Malin! Ini ibumu. Aku menjadi saksi atas semua yang diucapkan ibumu. Semua itu benar adanya, Malin. Janganlah kau menjadi anak durhaka yang tidak mau mengakui ibumu sendiri!” imbau tetua kampung yang kini memegang kedua lengan Ibu Malin.
“Hei, kalian! Aku menghormati kalian sebagai orang tua. Tapi sikap keras kepala kalian yang terus memaksa suamiku telah melewati batas. Maka benar kata suamiku, pergilah kalian sebelum kami mengusir kalian dengan kasar!” perintah istri Malin setengah membentak.
“Ini kampung kami. Dan akulah tetua di kampung ini. Kalau kalian tidak suka dengan sikap kami yang berusaha menyadarkan orang sebelum terlambat, maka kalianlah yang seharusnya pergi dari sini, pergi dari kampung ini!” ucap tetua kampung dengan suara bergetar.
Menyadari hal itu, istri Malin pun segera mengajak Malin kembali ke kapal, dan pergi meninggalkan perkampungan pesisir itu. Malin pun mengiyakan dengan bibir yang bergetar menahan tangis. Namun lagi-lagi karena cinta, ia mengabaikan hati kecilnya yang menjerit memohon ampunan dari ibunya.
Sementara Ibu Malin yang tidak ingin berpisah lagi dengan Malin, masih berusaha dengan kesabarannya sebagai ibu yang terus mencoba menyadarkan anaknya. Ibu Malin pun mengiba dengan tangis yang tersedu.
“Malin, anakku! Tegakah kau kembali meninggalkan ibumu yang sudah lama menantikan kepulanganmu? Sungguh tegakah kau tidak mau mengakui ibu yang telah melahirkan dan membesarkanmu?”
Malin seolah tak peduli. Dia terus menuju kapalnya hingga membuat ibunya berteriak-teriak dalam isak.
“Berhenti kau! Berhenti kau, Malin! Kembalilah kau pada ibumu! Kembalilah, Malin! Kembali! Kembali, Malin!”
“Sudahlah, Uni! Sudahlah! Kita pulang saja! Biarlah Tuhan sendiri yang memberi hukuman atas sikapnya itu,” pinta tetua kampung menenangkan.
Namun mendengar kata hukuman Tuhan, Ibu Malin justru bangkit dan bersuara lebih lantang dari sebelumnya.
“Ya Tuhan! Kalau benar dia adalah anakku, hukumlah dia! Kutuklah dia menjadi batu, batu yang lebih keras dari hatinya yang memang telah membatu!”
Malin yang sudah berada di tangga kapal, seketika bergetar mendengar doa ibunya. Namun sekali lagi, ia terus melawan nuraninya. Diperintahkannya seluruh anak buahnya agar segera mengembangkan layar, lalu meninggalkan pantai itu. Terlebih secara tiba-tiba, langit yang semula cerah, kini menjadi kelam. Angin bertiup kencang. Gelombang laut meninggi susul-menyusul.
Seluruh orang di kapal pun menjadi panik. Dan kepanikan itu pun berakhir ketika petir yang seperti cambuk bercabang-cabang, menyambar kapal dagang itu. Tiang-tiang di kapal besar itu pun patah hingga menghantam orang-orang yang ada di bawahnya.
Orang-orang yang tertimpa tiang itu mati seketika. Sementara lainnya yang berhasil menghindar dengan menceburkan diri ke laut, justru pada akhirnya terseret arus hingga meregang nyawa di tangah lautan. Ada pun Malin Kundang, ia berhasil menghindar dengan menggulingkan badannya ke haluan kapal.
Namun baru saja ia berdiri, cahaya dan suara kilat kembali menyambar kapal, tepat mengenai dirinya. Tubuhnya terbakar seketika, hangus, hitam. Namun dalam kondisi jasad yang seperti itu, ternyata ia masih bisa bergerak-gerak. Jasad itu lalu tampak membungkuk, dan kemudian kaku dalam posisi bersujud.

Badai telah reda. Tak ada lagi petir. Tak ada lagi angin dan gelombang kencang. Bangkai kapal dagang yang besar itu pun tak lagi tersisa di pantai. Semua telah hanyut terseret arus laut.
Namun di salah satu sudut pantai yang dipenuhi batu karang, beberapa orang tampak terheran-heran melihat satu batu karang yang berbentuk aneh karena menyerupai tubuh manusia yang sedang bersujud. Bahkan yang lebih aneh, batu itu mengeluarkan suara degup yang menyerupai degub jantung manusia.
Temuan itu pun akhirnya disampaikan kepada tetua kampung. Menyadari hal itu seperti ada kaitannya dengan tragedi yang menimpa Malin Kundang, tetua pun mengajak Ibu Malin untuk melihat batu itu secara langsung. 
Sesampainya di sana, Ibu Malin tertegun. Ia menangis. Bibirnya bergetar mengucapkan sesuatu sambil mengelus batu bersujud itu di bagian kepalanya.
“Aku mengampunimu, anakku,” ucapnya lirih yang seketika membuat suara degub itu berhenti.


Minggu, 12 Januari 2025

CERPEN TRAGEDI III

PESAN ABAH

 

Kelak akan selalu kuingat. Pagi itu, ketika sinar matahari terasa begitu hangat, ketika desir angin khas musim kemarau seolah mampu menghadirkan kesejukan tersendiri bagi setiap mahluk, dan ketika suara kicau burung bersautan di ranting-ranting ketapang yang ada di depan dan di samping rumah nenek, perasaanku justru kian tak menentu. Langkahku gontai ketika aku diminta masuk ke ruang keluarga rumah nenek, tempat abah dibaringkan sepulang dari rumah sakit setelah dokter memberi vonis bahwa jantung abah yang kekurangan oksigen, tak akan lagi mampu bertahan. Dokter juga berkata, paru-paru abah yang bertabir, tak kan lagi bisa bekerja sebagaimana mestinya. Tabir itu berasal dari asap yang terhirup dari hari ke hari, minggu ke minggu, bahkan bulan ke bulan. Karena vonis itulah, abah ingin mengembuskan napas terakhir di rumah nenek, rumah yang menjadi tempat lahir abah puluhan tahun silam.

Di ruang tengah itu, sekilas kulihat kedua julak-ku berdiri di samping balai, tempat abah dibaringkan. Semuanya tertunduk dan terisak. Di ujung balai, tepat di samping kepala abah, tampak mamak dan nenek sedang berusaha memandu abah mengucapkan kalimat takbir dan syahadat. Sementara abah yang terbaring di atas balai sederhana, balai yang biasa dipakai untuk menonton TV, hanya mampu menggetar-getarkan kedua bibirnya dengan pandangan mata yang sepertinya kosong. Itulah fragmen yang membuat hatiku merintih, “Begitukah rupa orang yang akan meninggal?”

Ah, selamanya tak kan mungkin kulupa. Dengan tubuh bergetar, pagi itu aku pun berusaha untuk meminta maaf pada abah sebelum ia benar-benar pergi. Ingin sekali lisanku berucap, memohon maaf atas segala tingkah nakal yang pernah kuperbuat. Ingin sekali bibirku yang terkatup, bisa mengungkapkan sebaris kata-kata penyesalan atas berbagai kekurangajaran yang pernah kulakukan. Namun setelah meraih tangan abah yang mulai terasa dingin, tak ada sepatah kata pun yang mampu kuucap. Lidahku terasa kelu. Bibirku hanya mampu bergetar karena terus menahan tangis. Aku tak kuasa menyaksikan pemandangan itu, detik-detik yang mungkin akan menjadi akhir dari kehidupan seorang manusia. Dan yang membuat batinku begitu terhenyak, manusia itu tak lain adalah orang tuaku sendiri, sosok nomor satu yang paling kubanggakan dalam hidupku.

Maka, detik demi detik itu pun akan terekam jelas dalam benakku. Dengan terus berusaha menahan isak tangis, kutempelkan keningku di tangan abah dengan hati yang kian merintih, “Abah, maafkan aku!” Ya, itulah sebaris kalimat yang benar-benar keluar dari hatiku meski tak mampu terucap. Karena sungguh, tak mampu lagi bagiku melihat rupa abah yang sedang berjuang menghadapi saat-saat terakhir dalam hidupnya, sekarat. Sesegera mungkin aku pun berusaha untuk berdiri. Dengan air mata yang kian berlinang, kulangkahkan kakiku yang kian bergetar, kembali menuju ke ruang tamu rumah nenek.

Entahlah. Sekeluar aku dari ruang itu, angin yang sebenarnya berembus keluar masuk dari jendela ruang tamu rumah nenek, seketika seolah berhenti. Suara para kerabat dan tetangga nenek yang melantunkan ayat-ayat suci Al Quran, tiba-tiba seperti tak lagi dapat kudengar. Kedua kaki yang semula masih agak kuat menopang berat badanku, seakan menjadi nyata tak bertulang. Tubuhku benar-benar terasa lemas. Namun di tengah kesadaranku yang kian melemah, aku masih bisa merasakan ada seseorang yang menyangga tubuhku. Seseorang yang kemudian kukenali sebagai acil, memapahku hingga aku merasa tubuhku terduduk di atas sofa ruang tamu rumah nenek.

Sungguh, kenangan pagi itu tak kan pernah bisa sirna. Berulang kali acil membisiki telingaku, menyuruhku ber-istighfar, berserah diri, dan berusaha menerima takdir dengan ikhlas. Namun setelah itu, sebelum aku benar-benar mampu berucap seperti yang ia contohkan, aku merasa dunia kala itu begitu gelap. Napasku seperti tercekat. Aku tak sadarkan diri.

¯¯¯

 

Kelak akan selalu bersemayam dalam benak. Di luar alam sadarku, aku seperti berada di rumahku, rumah yang dibangun tahap demi tahap dari gaji abah sebagai guru di sekolah dasar pinggiran Kota Palangka, Kalimantan Tengah. Ya, sejak lulus kuliah, abah memang merantau dari Kalimantan Selatan ke Kalimantan Tengah untuk mencari peluang menjadi pegawai negeri sipil di kota yang kini bersahabat dengan asap. Padahal tertulis jelas dalam sejarah, kota kelahiranku itu pernah digagas oleh presiden pertama negeri ini menjadi ibu kota negara, menggantikan Jakarta yang penataan kotanya kurang terencana. Namun kini, kotaku yang secara geografis memang berada di tengah-tengah wilayah NKRI itu seperti nyata terabaikan.

Setelah rencana abah tercapai, abah lalu menikah dengan mamak atas saran nenek yang ingin menjadikan mamak sebagai bagian dari keluarga. Kala itu, mamak yang yatim piatu, bekerja membantu nenek berjualan nasi kuning. Nenek merasa nyaman dengan mamak yang pekerja keras, namun di sisi lain berperangai lembut. Secara fisik, meski tidak begitu cantik, mamak memiliki wajah teduh dengan senyum yang menenangkan. Karena itulah, abah langsung mengiyakan saran nenek.

Seiring perjalanan waktu, ikatan batin abah dan mamak pun kurasa makin kuat. Semua aku tahu dari abah yang kerap menyelipi wejangan hidup dari cerita kehidupan nyata abah dan mamak. Abah kerap tak merasa sungkan bermanja pada mamak di depan aku dan ading. Begitu pun mamak, meski terkesan lebih pandai menutupi perasaan, mamak jelas selalu menomorsatukan abah dalam hal kebutuhan. Semua itu mamak lakukan bukan sebatas bentuk penghormatan kepada seorang suami. Lebih dari itu, cintalah yang mendasari mamak dalam melayani abah.

Dengan cinta itu pulalah aku tumbuh mengarungi hidup. Meski tanpa harta melimpah, aku bisa merasa bahagia menikmati hidupku bersama keluargaku. Hingga pada bulan kelima musim kemarau tahun ini, ketika asap mulai menyelimuti seluruh wilayah Kota Palangka, kebahagiaan itu seolah menjauh dari kami.

Secara swadaya, abah memutuskan untuk mengungsikan mamak, aku, dan ading ke rumah nenek di pinggiran Kota Intan, Kota Martapura, Kalimantan Selatan. Sementara abah, memilih untuk bertahan di Palangka, bergabung dengan relawan-relawan lain untuk bahu-membahu membantu petugas memadamkan hutan yang terbakar. Kami pun terpisah meski kata abah itu hanya untuk sementara. Menurut abah, para pembakar hutan itu memang jahat. Makanya, kalau kita ngaku baik, kita tidak boleh diam saja. Apalagi, kemarau tahun ini lebih lama dari biasanya. Maka lebih baik menjadi sebatang lilin meski hanya bisa memberi secercah cahaya, daripada hanya bisa mengutuk kegelapan.

Namun saat itu, saat aku berada di luar alam sadarku, semua terlihat begitu berbeda. Tak ada asap di sekitar rumahku. Arah pandang pun tampak jelas ke segala penjuru. Di situ, di luar alam sadarku, abah mengenakan kemeja putih lengan panjang, kemeja yang sering aku lihat di TV dikenakan oleh orang-orang yang katanya penting di negeri ini. Untuk apa abah berkemeja seperti itu?

Abah handak tulak. Ikam kada usah umpat. Jagai haja mamak ikam! Ingati pesan abah! Ikam ni kepala keluarga amun abah kada di rumah. Paham lah ikam?”

Aku hanya bisa mengangguk, lalu tertunduk mendengar pesan abah. Abah memang selalu berpesan seperti itu padaku. Pesan itu juga abah berikan ketika melepas kepergian kami ke rumah nenek. Tapi, kenapa abah hanya memintaku menjaga mamak? Bukankah biasanya abah selalu memintaku menjaga mamak dan ading?

Kutegakkan kepalaku perlahan. Ingin kutahu alasan abah berpesan seperti itu. Tapi bukan jawaban yang kudapat, aku justru makin tak paham dengan yang terjadi. Abah yang sebelumnya berdiri tepat di depanku dengan kemeja putih lengan panjang itu, hilang tak berbekas. Kulihat ke sekeliling, tak ada siapa pun. Kususuri ruang tamu dan ruang tengah rumahku, abah tetap tak ada.

Di tengah kebingunganku, tiba-tiba terdengar suara yang sangat berisik dari arah kamar mandi. Suara itu seperti suara palu yang dihujamkan berkali-kali dengan sekuat tenaga. Sesegera mungkin, aku pun menuju ke arah sumber suara itu. Di sana, kudapati abah sedang memalang pintu kamar mandi dengan kayu yang berlapis-lapis. Abah seperti hendak mengunci mati pintu kamar mandi itu.

Bah! Abah! Apa diulah, Bah?” tanyaku antara tangis dan teriak, namun abah tak menjawab, hanya berhenti memalu. Ditundukkannya pandangan matanya dalam-dalam, lalu perlahan mengarahkan pandangan itu padaku, tajam.

Jagai mamak ikam! Lakas jagai mamak ikam! Jagai mamak ikam!”

Meski kutahu abah akan makin marah kalau melihatku benar-benar menangis, namun aku hanyalah anak dengan rasa takut yang tak mungkin tertahan jika melihat abah seperti itu. Rintihku pun pecah, menyebut nama abah dengan harap abah tak lagi berlaku seperti itu.

¯¯¯

 

“Aba...h! Aba...h! Aba...h!” rintihku menyebut abah.

“Sabar, Yansyah! Saba...r! Ikhlaskan abah ikam! Ikhlaska...n!” lamat-lamat bisik acil terdengar di telingaku, berpadu dengan suara orang-orang mengaji. Mungkin itulah saat aku mulai merasa kalau aku telah kembali ke alam sadarku. Kepalaku berbantal. Tubuhku terbaring di atas sofa ruang tamu rumah nenek.

“Abah, Cil. Mana abah, Cil?”

Iih, Yansyah. Iih. Abah ikam sudah tenang. Ikam ikhlasi haja...!

Aku tak terlalu paham dengan maksud acil. Meski kelak, aku pun merasa bahwa saat-saat itu akan menjadi penggalan tragedi hidup yang akan tertanam dalam sanubariku. Yang aku tahu saat itu hanyalah abah yang sekarat, lalu berulang kali menyuruhku untuk menjaga mamak di luar alam sadarku. Karena itu, aku hanya ingin melihat abah. Ya, abah. Di mana abah?

Kucoba angkat tubuhku yang masih terbaring di atas sofa. Aku hanya ingin memastikan kondisi abah yang kulihat berbeda di luar alam sadarku, lalu bertanya maksud abah yang berulang kali menyuruhku menjaga mamak. Namun baru saja aku berusaha menoleh ke arah pintu yang menuju ruang tengah rumah nenek, aku melihat sesosok tubuh terbalut kain putih, yang dibaringkan di atas balai kecil, tepat di tengah ruang tamu. Seketika, tenggorokanku seperti kembali tercekat. Jantungku berdebar kencang. Badanku bergetar hebat. Bibirku merintih memanggil-manggil abah.

“Sabar, Yansyah! Yang ikhlas! Abah ikam sudah tenang di sana. Amun ikam kada ikhlas, kena ngalih jalan sidin di sana. Istighfar, Yansyah! Astaghfirulla…h al azi…m! Astaghfirulla…h al azi…m!”

Mendengar itu, aku tak mampu lagi menguasai diriku. Aku bahkan seperti tak lagi bisa merasakan tubuhku. Aku tak lagi mampu mengeluarkan suara tangis. Hanya air mata yang sepertinya mengalir begitu saja.

Duhai, kiranya nyanyian kematian telah menggema, menghentak rumah tua kecil nenek, memutus jalinan cinta suci abah dan mamak, serta mengubur tempatku mencontoh dan bangga. Kini tiada lagi semua itu. Hanya kenanganlah yang akan tersisa.

Kematian. Kata itu pulalah yang mengakhiri setiap kisah hidup manusia di dunia, menjadi sesuatu yang pasti terjadi dengan apa pun yang menjadi penyebabnya. Tak ada sejengkal pun tempat yang bisa menjadi pelindung dari kedatangannya. Karena memang itulah ketetapan Ilahi, segala mahluk yang bernyawa pasti akan mengalami kematian.

¯¯¯

 

Hari-hariku kini adalah hari-hari yang pekat, melebihi pekat asap yang telah merenggut nyawa abah. Kini bukan saja aku tak lagi bisa melihat diri abah, senyum mamak pun seolah turut terkubur bersama jasad abah. Mamak kini jadi sosok yang berbeda. Meski kami tetap tinggal dalam satu rumah, aku seperti tak lagi bisa merasakan kehadiran mamak. Mamak kerap murung dan menyendiri.

Berbagai pemahaman pun telah diberikan untuk membuat mamak bisa seperti dulu lagi. Nenek, acil, dan juga julak sudah silih berganti memberikan pemahaman bahwa abah telah pergi karena tujuan mulia. Kepergian abah tidak boleh diratapi terus-menerus, apalagi abah pergi dengan akhir yang baik karena sempat berucap syahadat sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhirnya.

Namun mamak yang sepertinya benar-benar telah kehilangan semangat hidupnya, tak lagi mampu berpikir jernih. Pada saat-saat tertentu, mamak justru pergi ke makam abah, duduk bermonolog selama berjam-jam hingga kadang sampai tertidur seraya mendekap makam abah.

Dari itu, aku mulai paham maksud pesan abah dalam alam luar sadarku. Abah memintaku untuk menjaga mamak karena mamak seperti tak bisa hidup tanpa abah. Besarnya rasa cinta mamak pada abah kini justru menjadi belunggu bagi mamak setelah abah tiada. Tapi apa yang bisa kulakukan untuk menolong mamak kalau aku saja tak lagi bisa merasakan keberadaan mamak?

Dalam kondisi serba-tak tahu seperti itu, kuceritakan semua yang kualami dalam alam luar sadarku pada acil. Kuceritakan pesan abah yang sepertinya berkaitan dengan yang terjadi pada diri mamak. Kuceritakan pula tingkah aneh abah yang mengunci mati pintu kamar mandi dengan palang-palang kayu.

Acil pun mengangguk-anggukkan kepala, seperti paham dengan makna semua cerita yang kualami dalam alam luar sadarku. Tanpa pikir panjang, acil lalu meminta julak membuat pagar kayu untuk mengelilingi makam abah dan makam kai yang berdampingan di belakang rumah.

Sejak itulah, aku tak lagi melihat mamak bertingkah ganjil di atas makam ayah. Perubahan itu tentu membuat kami lega, terutama nenek. Bagi nenek, itu sudah cukup meski tubuh mamak terus saja mengurus lantaran tak banyak makanan yang masuk ke dalam tubuh mamak. Menurut nenek, yang penting aku mau bersabar mendampingi mamak. Karena itulah, aku yang sebelumnya tak pernah tidur seranjang dengan mamak, kini membaur bertiga bersama mamak dan ading.

¯¯¯

 

Malam begitu dingin. Kandung kemihku jadi terasa penuh. Aku pun terbangun dari tidurku, tak kuat menahan, harus ke kamar mandi. Kuihat di sebelahku hanya ada ading. Mungkin mamak juga ke kamar mandi, pikirku.

Dengan kesadaran seadanya, kucoba langkahkan kaki, seperti zombi. Kususuri ruang-ruang rumah dengan mata yang terasa berat kubuka. Dengan langkah yang masih gontai, kubuka pintu kamar mandi dengan perlahan.

Namun alangkah terkejutnya aku ketika melihat pemandangan yang ada di hadapanku, pemandangan yang seketika mampu menghilangkan rasa kantukku menjadi tak berbekas sama sekali, pemandangan yang membuat jantungku seperti tercabut dari tempatnya, pemandangan yang membuatku ingin berteriak sekuat-kuatnya, membuat jiwaku meronta sejadi-jadinya. Tepat di depanku, aku melihat tubuh mamak tergantung kaku.

¯¯¯

 

CERPEN TRAGEDI IV

MALIN KUNDANG SI ANAK DURHAKA Sumber: www.cerita.web.id Dahulu kala, di Minang, Sumatera Barat, hiduplah sepasang ibu dan anak dalam kondisi...