Minggu, 12 Januari 2025

CERPEN ISLAMI II

 MATAHARI TERBENAM

(Fadil Al Karsad)

 

Seperti biasa, malam sepulang kerja, ibu langsung mandi, lalu mengajak anak-anaknya untuk makan malam bersama dengan menu sederhana buatan si bungsu dari lima bersaudara yang memang menjadi anak perempuan satu-satunya. Setelah makan, juga seperti biasanya, ibu duduk di sofa ruang tengah, menonton siaran televisi sekadar untuk menghibur diri setelah bekerja seharian, juga untuk mengistirahatkan tubuh letihnya agar asma yang telah menderanya beberapa tahun ini, mau berdamai dengan dirinya.

Seperti biasa pula, melihat ibunya duduk di sofa, si bungsu pun langsung merebahkan diri dengan kepala yang ia sandarkan di pangkuan ibunya untuk bermanja. Namun kali ini, ia berebah dengan kedua tangan yang mendekap rapor semester ganjil kelas sebelas yang diterimanya siang tadi.

Ibunya pun paham. Dengan tingkah seperti itu, anak tercintanya bermaksud menunjukkan rapor itu padanya. Maka seraya membelai rambut putri bungsunya dengan tangan kirinya, tangan kanannya mengambil rapor itu.

“Bu, Ibu kok ndak mau berhenti kerja, sih? Gimana sesak napas Ibu bisa sembuh kalau Ibu ndak mau berhenti kerja? Kata dokter, Ibu itu harus banyak istirahat. Kalau cuma untuk biaya hidup, Mas Anto, Mas Adi, Mas Rudi, dan Mas Deni kan udah bisa bantu,” keluhnya polos pada sang ibu yang mengguratkan senyum melihat nilai rapornya yang banyak di bawah nilai rata-rata kelas.

Tak langsung menjawab, ibunya tampak berpikir mencari jawaban. Dan seperti membalas sikap manja si bungsu, wanita berwajah teduh itu pun memberi jawaban diplomatis, namun penuh makna.

“Mmm... Ibu bakal berhenti kerja kalau anak ibu ini bisa dapat ranking.

Mendengar jawaban itu, spontan, si bungsu itu pun makin melenguh manja.

“I...h, Ibu, ini.... Kiki nanya beneran. Seriu...s! Kiki ngomong gitu ya karena Kiki sayang sama Ibu....”

“Ibu  juga serius. Ibu janji, ibu bakal berhenti kerja kalau semester depan anak Ibu yang cantik ini bisa dapat rangking.”

Meski tetap kesal dengan jawaban ibunya, dalam hati, Kiki bertekad akan belajar sekeras mungkin agar semester genap nantinya bisa mendapat ranking seperti yang menjadi sindiran ibunya. Karena biar bagaimana pun, ia paham dengan sifat ibunya yang selalu teguh dalam pendirian. Terlebih sejak ayahnya meninggal sepuluh tahun yang lalu, ibunya telah berjanji pada diri sendiri akan membiayai hidup dan sekolah anak-anaknya dengan tangan sendiri, tanpa mengharap bantuan dari siapa pun, termasuk beasiswa dari pemerintah atau pun swasta.

Teguh pendirian ibunya pun bisa ia ketahui dari sikap ibunya yang selalu menutup hati pada laki-laki yang datang ingin menikahi, mulai dari duda pengusaha tambak ikan yang memang jatuh cinta pada pesona ibunya, sampai kepala desa yang ingin memoligami ibunya karena rasa iba melihat kondisi ekonomi mereka.

Beruntung, tak lama setelah ayahnya meninggal, ibunya diterima sebagai buruh pabrik konveksi yang bekerja selama dua belas jam setiap hari. Bahkan setiap ada peluang untuk lembur pada hari libur, ibunya tak ragu untuk mengambilnya.

¯¯¯

Sejak mendengar janji bersyarat dari ibunya itulah, Kiki yang tentu sangat sayang pada ibunya, berusaha sekeras mungkin untuk memperbaiki prestasi belajarnya. Di kelas, ia berusaha aktif dalam pembelajaran. Setiap penjelasan guru di kelas, ia perhatikan dengan baik. Kalau pun ia belum paham dengan penjelasan itu, ia beranikan dirinya untuk bertanya. Bahkan kalau ada pertanyaan pancingan dari guru yang sekiranya ia tahu jawabannya, ia pun tak ragu untuk mengangkat tangan sebagai tanda bahwa ia ingin mencoba untuk menjawab.

Seolah tak cukup dengan perubahan itu, ia pun mulai rajin membaca buku, mulai dari buku catatan pelajaran, buku paket panduan pelajaran, hingga buku-buku umum untuk menambah wawasannya. Hasilnya pun tak sia-sia, nilai ulangan hariannya selalu tinggi meski bukan yang tertinggi.

¯¯¯

“Bu, besok ndak usah kerja, ya...! Besok Ibu harus ambil rapor Kiki di sekolah. Dan insyaallah, mulai lusa dan seterusnya, ibu ndak boleh kerja lagi, pinta Kiki yang selalu menyandarkan kepala di pangkuan ibunya kala bermanja.

“Lho, kok ndak boleh?” tanya ibunya pura-pura terkejut sambil terus membelai rambut putri yang selalu menjadi penyemangat hidupnya itu.

Tuh, kan, Ibu lupa! Ibu ndak boleh ingkar janji, lho...!”

“Janji apa?”

“Janji Ibu yang ndak bakal kerja lagi kalau Kiki dapat rangking.

“Lho, kan bagi rapornya besok. Kok udah yakin Kiki bakal dapat ranking?”

“Ya... Pede aja. Nilai ulangan-ulangan Kiki kan bagus-bagus. Lagian, pede itu kan lebih baik daripada minder.”

“Iya.... Pede sih pede.... Tapi jangan sampai takabur gitu, dong! Lagian kalau besok Kiki bener-bener dapet ranking, lusanya ya ibu tetep harus kerja.”

“Lho, kok gitu? Ibu ndak mau tepati janji?”

“Emang ibu bilang gitu?”

Kan tadi Ibu bilang gitu, kalaupun besok Kiki dapat rangking, lusanya ibu tetep harus kerja.”

“O... Itu.... Emang kalau mau berhenti kerja, ndak perlu pamit gitu sama perusahaan, sama teman-teman kerja ibu?” sindir ibunya yang kali ini tangannya berhenti membelai rambut anak gadisnya karena tangan itu beralih ke arah hidung untuk mencubit hidung itu dengan lembut.

“Hehe... Iya juga sih. Tapi... pamit lewat telepon atau sms kan juga bisa.”

Ih, anak ibu ini kok maksa banget, ya?”

“Iya, dong! Kiki berjuang sekuat tenaga biar dapat rangking itu kan cuma buat ibu, biar Ibu bisa lebih banyak istirahat di rumah, biar Kiki juga bisa langsung lihat senyum ibu tiap kali Kiki berangkat dan pulang sekolah.”

“Mmm... Kalau gitu... gimana kalau besok Mas Anto aja yang ambil rapor Kiki? Besok ibu masuk kerja aja, terus nunggu kabar dari Mas Anto. Kalau Mas Anto bilang Kiki dapet rangking, ibu langsung pamit, terus pulang ke rumah, ngasih ucapan selamat buat tuan puteri ibu yang manja ini.”

“Mmm.... Iya, deh! Tapi Ibu harus janji! Begitu Mas Anto ngabari kalau Kiki dapat rangking, Ibu harus langsung pamit dan langsung pulang. Ya!”

“Iya... Ibu janji. Insyaallah.

“Satu lagi. Kalau ibu ada uang lebih, Kiki boleh minta dibeliin kain putih buat bikin seragam lengan panjang sama jilbab, ndak? Kiki pengin pake jilbab kayak ibu. Kiki pengin jadi lebih baik. Kiki pengin menutup hati, puasa hati sampe tiba waktunya menikah nanti. Karena setelah Kiki baca-baca buku, untuk menjaga diri, gadis remaja yang belum nikah itu harus menutup hatinya untuk laki-laki, kecuali kalau memang udah waktunya mau nikah nanti. Mmm... Sebenernya, tabungan Kiki mungkin cukup buat beli itu. Tapi Kiki udah nazar. Kalau besok Kiki dapet ranking, tabungan itu mau Kiki sumbangin semua ke masjid. Hehe.... Ibu ndak marah, kan?

Ibunya hanya tersenyum pertanda setuju. Hatinya tersentuh. Ia tidak mengira kalau anaknya bisa memiliki niat baik seperti itu. Ia pun tidak menyangka bahwa tanpa diminta, anaknya ingin berjilbab dengan pemahaman yang lebih baik darinya. Padahal niatnya berjilbab dulu hanyalah sebagai simbol bahwa ia ingin menutup hatinya untuk pria lain setelah suaminya meninggal. Meski begitu, pada akhirnya ia bisa merasakan kenyamanan jiwa dan raga yang tidak ia rasakan ketika ia belum berjilbab dulu.

Maka saat itu juga, wanita paruh baya itu berjanji dalam hati akan memenuhi niat anaknya, membelikan kain putih untuk jilbab dan seragam sekolah lengan panjang dengan uang gaji terakhirnya nanti. Ada pun kain abu-abu untuk seragam bawah, tak perlu ia beli dulu karena seragam abu-abu yang ada, sudah panjang adanya.

¯¯¯

Selepas salat Duha di musala pabrik, HP ibu bergetar. Anto menelepon.

“Bu, Alhamdulillah, Kiki dapet rangking tiga,” suara Anto girang.

Alhamdulilla...h,” timpal ibunya, spontan.

“Mana Kiki? Sini ibu pengin ngasih selamat!” sambung ibu.

“Ada, Bu. Tapi dia lagi dikerjain teman-temannya yang ndak nyangka dia bakal dapet rangking tiga.”

“Ya udah kalau gitu. Ibu bilang dulu ke personalia, terus pamit ke teman-teman ibu. Habis pamit, nanti ibu langsung pulang.”

¯¯¯

Tanpa diduga, pihak perusahaan langsung memberi uang gaji dan pesangon sebesar sepuluh kali lipat gaji pokok pada ibu setelah mengajukan permohonan pengunduran diri. Besaran uang pesangon itu disesuaikan dengan masa kerja ibu yang memang sudah genap sepuluh tahun.

Mendapat rezeki yang diberikan dengan sistem transfer ke rekening itu, ibu pun langsung menuju ke ATM untuk mengambil uang seperlunya dan menyisihkan sepuluh persen dari uang pesangon itu untuk amal. Ditransfernya uang amal itu ke sebuah lembaga amil zakat kepercayaan ibu. Dari ATM, ibu menuju ke kedai ayam bakar dan sup buah. Ibu ingin seluruh anaknya bisa makan siang di rumah dengan menu ayam bakar spesial sebagai bentuk perayaan kecil atas prestasi Kiki.

Di kedai itu, sambil menunggu pesanan ayam bakar dan sup buah yang masih dibuat, ibu mengirim pesan singkat untuk Anto, Adi, Rudi, dan Deni agar pulang saat jam makan siang. Setelah itu, tiba-tiba ibu teringat dengan permintaan Kiki, dan terburu-buru meninggalkan kedai setelah membayar pesanan, sampai-sampai tanpa sadar, ibu menjatuhkan HP yang tadi dipakai untuk mengirim pesan.

Sesampainya di sebuah kios yang menjual aneka jenis kain, ibu langsung membeli kain putih yang tidak tembus pandang, tapi nyaman di kulit. Ibu pun membeli tanpa menawar karena jam di tangannya sudah menunjukkan waktu istirahat makan siang, pukul dua belas. Perasaan ibu mulai tak tenang. Ibu pasti terlambat sampai di rumah.

¯¯¯

Pukul setengah satu kurang lima menit, ibu sampai di Jalan Teratai yang menuju ke rumah. Meski senang karena hampir sampai di rumah, ibu masih tampak gelisah lantaran merasa terlambat, namun tidak bisa mengabari anak-anaknya. Ya, akhirnya ibu sadar bahwa ia telah kehilangan HP. Dan tanpa HP itu, ibu pun tidak bisa menghubungi anaknya untuk menjemput di jalan masuk menuju ke rumahnya itu.

Namun seturunnya dari angkutan, kegelisahan ibu berubah menjadi rasa heran setelah melihat ada mobil polisi dan sekumpulan orang yang berdiri di tepi jalan. Tak tahan diliputi rasa penasaran, setelah membayar angkutan, ibu langsung bertanya pada salah satu orang yang berdiri di samping mobil polisi itu.

“Ada apa, ya, Pak?”

“Tadi ada kecelakaan, Bu. Tabrak lari.”

Masyaalla...h! Siapa? Orang mana?”

Wah, kurang tahu, Bu! Katanya sih orang perumahan ujung, tapi ndak tahu persis, Perumahan Teratai V atau VI gitu.”

Mendengar kata orang perumahan ujung, hati ibu sempat bergetar. Namun karena ia dan keluarganya tiggal di ujung perumahan Teratai IV, ibu bisa sedikit lebih tenang. Ibu pun lalu berjalan kaki, segera pulang.

Memasuki belokan terakhir yang menuju ke rumah, darah ibu seperti berdesir ketika melihat kerumunan orang di sekitar rumahnya. Ibu pun mempercepat langkah kakinya, ingin segera memastikan perihal yang terjadi di rumahnya. Ada apa gerangan? Apakah kecelakaan itu, kecelakaan yang menurut orang yang ia tanya di pinggir jalan, menimpa orang perumahan ujung? Bukankah itu orang Perumahan Teratai V atau VI ujung, bukan keluarganya yang tinggal di Perumahan Teratai IV ujung? Tapi kenapa banyak tetangga yang datang ke rumah dengan memakai busana yang rapi layaknya pergi ke sebuah acara keagamaan?

Semakin mendekati rumah, langkah ibu semakin bergetar. Dan sesampainya di depan rumah, ibu benar-benar lemas, tak kuasa menegakkan kaki, lalu terduduk begitu saja di teras rumah. Karena dari teras itu, ia melihat sekujur tubuh berbalut kain putih.

Duhai, siapakah itu? Adakah itu si bungsu kesayangannya karena anaknya yang lain tampak duduk di samping-sampingnya? Kalau iya, kenapa harus dia? Bukankah dia belum mendapatkan ucapan selamat dari ibunya? Bukankah dia juga belum merayakan prestasi belajarnya itu bersama ibu dan keempat kakaknya? Dan bukankah ia belum sempat melihat kain putih yang ia minta pada ibunya?

Ya Tuhan, adakah permintaan itu sebagai pertanda bahwa ia akan memakai kain kafan putih itu? Adakah niat berjilbab itu yang menjadi alasan-Mu memanggilnya, ingin menjaga niat sucinya? Dan adakah nazar itu menjadi amal tersendiri di mata-Mu?

Sementara dari dalam rumah, Anto, Adi, dan Rudi yang melihat kedatangan ibu mereka, langsung berlari hingga larut dalam tangis dan peluk ibu mereka.

“Kiki, Bu.... Kiki....” adu Anto yang tak kuat menahan tangis.

Kiki. Ya, Kiki. Dialah si pemilik tubuh berbalut kafan itu. Dia yang satu setengah jam lalu baru saja mengantarkan seluruh tabungannya ke masjid yang ada di seberang jalan sebagai bentuk pemenuhan nazarnya jika meraih ranking, tertabrak truk yang melaju cepat di tikungan. Anehnya, meski tubuhnya terpental sejauh lebih dari lima meter, tak ada luka memar atau pun luka berdarah di sekujur tubuhnya. Ia pun meninggal seketika dengan senyum yang merekah penuh ketenangan.

Sementara ibunya yang kemudian diberi tahu kronologi itu, hanya bisa lemas, larut dalam sujud. Ia ikhlas melepas matahari dalam hidupnya itu terbenam, dan ikhlas pula melepas pekerjaan meski orang yang memintanya kini telah tiada.

¯¯¯

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TEKS ANEKDOT

A.        Contoh Teks Anekdot Sekali Pakai   Seorang warga Samarinda yang berprofesi sebagai sopir travel bandara, diajak ngobrol pe...