MATAHARI TERBENAM
Seperti biasa, malam sepulang kerja,
ibu langsung mandi, lalu mengajak anak-anaknya untuk makan malam bersama dengan
menu sederhana buatan si bungsu dari lima bersaudara yang memang menjadi anak
perempuan satu-satunya.
Setelah makan, juga
seperti biasanya, ibu duduk di sofa ruang tengah, menonton siaran televisi sekadar untuk
menghibur diri setelah bekerja seharian, juga untuk mengistirahatkan tubuh
letihnya agar asma yang telah menderanya beberapa tahun ini, mau berdamai dengan
dirinya.
Seperti biasa
pula, melihat ibunya duduk di sofa, si bungsu pun langsung merebahkan diri
dengan kepala yang ia sandarkan di pangkuan ibunya untuk bermanja. Namun kali
ini, ia berebah dengan kedua tangan yang mendekap rapor semester ganjil kelas
sebelas yang diterimanya siang tadi.
Ibunya pun paham. Dengan tingkah seperti itu, anak tercintanya bermaksud menunjukkan
rapor itu padanya. Maka seraya membelai rambut putri bungsunya dengan tangan kirinya,
tangan kanannya mengambil rapor itu.
“Bu, Ibu kok ndak mau berhenti kerja, sih?
Gimana sesak napas Ibu bisa sembuh
kalau Ibu ndak mau berhenti kerja?
Kata dokter, Ibu itu harus banyak istirahat. Kalau cuma untuk biaya hidup, Mas
Anto, Mas Adi, Mas Rudi, dan Mas Deni kan
udah bisa bantu,” keluhnya polos pada
sang ibu yang mengguratkan senyum melihat nilai rapornya yang banyak di bawah
nilai rata-rata kelas.
Tak langsung menjawab, ibunya tampak berpikir mencari jawaban. Dan seperti membalas
sikap manja si bungsu, wanita berwajah teduh itu pun memberi jawaban diplomatis,
namun penuh makna.
“Mmm... Ibu bakal berhenti kerja
kalau anak ibu ini bisa dapat ranking.”
Mendengar jawaban itu, spontan, si bungsu itu pun makin melenguh manja.
“I...h, Ibu, ini.... Kiki nanya beneran. Seriu...s! Kiki ngomong gitu ya karena Kiki sayang sama Ibu....”
“Ibu juga serius. Ibu janji, ibu bakal berhenti kerja kalau semester
depan anak Ibu yang cantik ini bisa dapat rangking.”
Meski tetap kesal dengan jawaban ibunya, dalam hati, Kiki bertekad akan
belajar sekeras mungkin agar semester genap nantinya bisa mendapat ranking seperti yang menjadi sindiran
ibunya. Karena biar bagaimana pun, ia paham dengan sifat ibunya yang selalu
teguh dalam pendirian. Terlebih sejak ayahnya meninggal sepuluh tahun yang
lalu, ibunya telah berjanji pada diri sendiri akan membiayai hidup dan sekolah
anak-anaknya dengan tangan sendiri, tanpa mengharap bantuan dari siapa pun,
termasuk beasiswa dari pemerintah atau pun swasta.
Teguh pendirian ibunya pun bisa ia ketahui dari sikap ibunya yang selalu
menutup hati pada laki-laki yang datang ingin menikahi, mulai dari duda
pengusaha tambak ikan yang memang jatuh cinta pada pesona ibunya, sampai kepala
desa yang ingin memoligami ibunya karena rasa iba melihat kondisi ekonomi
mereka.
Beruntung, tak lama setelah ayahnya meninggal, ibunya diterima sebagai
buruh pabrik konveksi yang bekerja
selama dua belas jam setiap hari. Bahkan setiap ada peluang untuk lembur pada
hari libur, ibunya tak ragu untuk mengambilnya.
¯¯¯
Sejak mendengar janji bersyarat dari ibunya itulah, Kiki yang tentu sangat
sayang pada ibunya, berusaha sekeras mungkin untuk memperbaiki prestasi
belajarnya. Di kelas, ia berusaha aktif dalam pembelajaran. Setiap penjelasan guru
di kelas, ia perhatikan dengan baik. Kalau pun ia belum paham dengan penjelasan
itu, ia beranikan dirinya untuk bertanya. Bahkan kalau ada pertanyaan pancingan
dari guru yang sekiranya ia tahu jawabannya, ia pun tak ragu untuk mengangkat
tangan sebagai tanda bahwa ia ingin mencoba untuk menjawab.
Seolah tak cukup dengan perubahan itu, ia pun mulai rajin membaca buku,
mulai dari buku catatan pelajaran, buku paket panduan pelajaran, hingga
buku-buku umum untuk menambah wawasannya. Hasilnya pun tak sia-sia, nilai
ulangan hariannya selalu tinggi meski bukan yang tertinggi.
¯¯¯
“Bu, besok ndak usah kerja, ya...! Besok Ibu harus ambil rapor Kiki di sekolah. Dan insyaallah, mulai lusa dan seterusnya,
ibu ndak boleh kerja lagi,” pinta Kiki yang
selalu menyandarkan kepala di pangkuan ibunya kala bermanja.
“Lho, kok ndak boleh?” tanya
ibunya pura-pura terkejut sambil terus membelai rambut putri yang selalu
menjadi penyemangat hidupnya itu.
“Tuh, kan, Ibu lupa! Ibu ndak
boleh ingkar janji, lho...!”
“Janji apa?”
“Janji Ibu yang ndak bakal kerja
lagi kalau Kiki dapat rangking.”
“Lho, kan bagi rapornya besok. Kok udah
yakin Kiki bakal dapat ranking?”
“Ya... Pede aja. Nilai
ulangan-ulangan Kiki kan bagus-bagus.
Lagian, pede itu kan lebih baik daripada minder.”
“Iya.... Pede sih pede.... Tapi jangan sampai takabur gitu, dong! Lagian kalau besok Kiki bener-bener dapet ranking, lusanya ya
ibu tetep harus kerja.”
“Lho, kok gitu? Ibu ndak mau tepati janji?”
“Emang ibu bilang gitu?”
“Kan tadi Ibu bilang gitu, kalaupun besok
Kiki dapat rangking, lusanya ibu tetep harus kerja.”
“O... Itu.... Emang kalau mau berhenti kerja, ndak perlu pamit gitu sama perusahaan, sama teman-teman kerja ibu?” sindir ibunya yang kali ini tangannya
berhenti membelai rambut anak gadisnya karena tangan itu beralih ke arah hidung
untuk mencubit hidung itu dengan lembut.
“Hehe... Iya juga sih. Tapi...
pamit lewat telepon atau sms kan juga
bisa.”
“Ih, anak ibu ini kok maksa banget, ya?”
“Iya, dong! Kiki berjuang sekuat
tenaga biar dapat rangking itu kan cuma buat ibu, biar Ibu
bisa lebih banyak istirahat di rumah, biar
Kiki juga bisa langsung lihat senyum ibu tiap kali Kiki berangkat dan pulang
sekolah.”
“Mmm... Kalau gitu... gimana kalau
besok Mas Anto aja yang ambil rapor
Kiki? Besok ibu masuk kerja aja, terus nunggu kabar dari Mas Anto. Kalau Mas Anto bilang Kiki dapet rangking,
ibu langsung pamit, terus pulang ke
rumah, ngasih ucapan selamat buat tuan puteri ibu yang manja ini.”
“Mmm.... Iya, deh! Tapi Ibu harus
janji! Begitu Mas Anto ngabari kalau
Kiki dapat rangking, Ibu harus
langsung pamit dan langsung pulang. Ya!”
“Iya... Ibu janji. Insyaallah.”
“Satu lagi. Kalau ibu ada uang lebih, Kiki boleh minta dibeliin kain putih buat bikin
seragam lengan panjang sama jilbab, ndak? Kiki pengin pake jilbab kayak ibu. Kiki pengin jadi lebih baik. Kiki pengin
menutup hati, puasa hati
sampe tiba waktunya menikah nanti. Karena setelah
Kiki baca-baca buku, untuk menjaga diri, gadis remaja yang belum nikah itu harus menutup hatinya untuk
laki-laki, kecuali kalau memang udah
waktunya mau nikah nanti. Mmm... Sebenernya, tabungan Kiki mungkin cukup buat beli itu. Tapi Kiki udah nazar. Kalau besok Kiki dapet ranking, tabungan itu mau
Kiki sumbangin semua ke masjid.
Hehe.... Ibu ndak marah, kan?”
Ibunya hanya tersenyum pertanda setuju. Hatinya tersentuh. Ia tidak mengira
kalau anaknya bisa memiliki niat baik seperti itu. Ia pun tidak menyangka bahwa
tanpa diminta, anaknya ingin berjilbab dengan pemahaman yang lebih baik darinya.
Padahal niatnya berjilbab dulu hanyalah sebagai simbol bahwa ia ingin menutup
hatinya untuk pria lain setelah
suaminya meninggal. Meski
begitu, pada akhirnya ia bisa merasakan kenyamanan jiwa
dan raga yang tidak ia rasakan ketika ia belum berjilbab dulu.
Maka saat itu juga, wanita paruh baya itu berjanji dalam hati akan memenuhi
niat anaknya, membelikan kain putih untuk jilbab dan seragam sekolah lengan
panjang dengan uang gaji terakhirnya nanti. Ada pun kain abu-abu untuk seragam
bawah, tak perlu ia beli dulu karena seragam abu-abu yang ada, sudah panjang
adanya.
¯¯¯
Selepas salat Duha di musala
pabrik, HP ibu bergetar. Anto
menelepon.
“Bu, Alhamdulillah, Kiki dapet rangking tiga,” suara Anto girang.
“Alhamdulilla...h,” timpal
ibunya, spontan.
“Mana Kiki? Sini ibu pengin ngasih selamat!” sambung ibu.
“Ada, Bu. Tapi dia lagi dikerjain teman-temannya yang ndak nyangka
dia bakal dapet rangking tiga.”
“Ya udah kalau gitu. Ibu bilang dulu ke personalia, terus
pamit ke teman-teman ibu. Habis pamit,
nanti ibu langsung pulang.”
¯¯¯
Tanpa diduga, pihak perusahaan langsung memberi uang gaji dan pesangon
sebesar sepuluh kali lipat gaji pokok pada ibu setelah mengajukan permohonan
pengunduran diri. Besaran uang pesangon itu disesuaikan dengan masa kerja ibu
yang memang sudah genap sepuluh tahun.
Mendapat rezeki yang diberikan dengan sistem transfer ke rekening itu, ibu pun
langsung menuju ke ATM untuk mengambil uang seperlunya dan menyisihkan sepuluh
persen dari uang pesangon itu untuk amal. Ditransfernya uang amal itu ke sebuah
lembaga amil zakat kepercayaan ibu. Dari ATM, ibu menuju ke kedai ayam bakar dan sup buah. Ibu
ingin seluruh anaknya bisa makan siang di rumah dengan menu ayam bakar spesial
sebagai bentuk perayaan kecil atas prestasi Kiki.
Di kedai itu, sambil menunggu pesanan ayam bakar dan sup buah yang masih
dibuat, ibu mengirim pesan singkat untuk Anto, Adi, Rudi, dan Deni agar pulang
saat jam makan siang. Setelah itu, tiba-tiba ibu teringat dengan permintaan
Kiki, dan terburu-buru meninggalkan kedai setelah membayar pesanan,
sampai-sampai tanpa sadar, ibu menjatuhkan HP
yang tadi dipakai untuk mengirim pesan.
Sesampainya di sebuah kios yang menjual aneka jenis kain, ibu langsung membeli
kain putih yang tidak tembus pandang, tapi nyaman di kulit. Ibu pun membeli tanpa
menawar karena jam di tangannya sudah
menunjukkan waktu istirahat makan siang, pukul dua belas. Perasaan ibu mulai
tak tenang. Ibu pasti terlambat sampai di rumah.
¯¯¯
Pukul setengah satu kurang lima menit, ibu sampai di Jalan Teratai yang menuju ke rumah.
Meski senang karena hampir sampai di rumah, ibu masih tampak gelisah lantaran
merasa terlambat, namun tidak bisa mengabari anak-anaknya. Ya, akhirnya ibu
sadar bahwa ia telah kehilangan HP. Dan
tanpa HP itu, ibu pun tidak bisa
menghubungi anaknya untuk menjemput di jalan masuk menuju ke rumahnya itu.
Namun seturunnya dari angkutan, kegelisahan ibu berubah menjadi rasa heran
setelah melihat ada mobil polisi dan sekumpulan orang yang berdiri di tepi
jalan. Tak tahan diliputi rasa penasaran, setelah membayar angkutan, ibu
langsung bertanya pada salah satu orang yang berdiri di samping mobil polisi
itu.
“Ada apa, ya, Pak?”
“Tadi ada kecelakaan, Bu. Tabrak lari.”
“Masyaalla...h! Siapa? Orang
mana?”
“Wah, kurang tahu, Bu! Katanya sih orang perumahan ujung, tapi ndak tahu persis, Perumahan Teratai V
atau VI gitu.”
Mendengar kata orang perumahan ujung,
hati ibu sempat bergetar. Namun karena ia dan keluarganya tiggal di ujung perumahan
Teratai IV, ibu bisa sedikit lebih tenang. Ibu pun lalu berjalan kaki, segera pulang.
Memasuki belokan terakhir yang menuju ke rumah, darah ibu seperti berdesir
ketika melihat kerumunan orang di sekitar rumahnya. Ibu pun mempercepat langkah
kakinya, ingin segera memastikan perihal yang terjadi di rumahnya. Ada apa
gerangan? Apakah kecelakaan itu, kecelakaan yang menurut orang yang ia tanya di
pinggir jalan, menimpa orang perumahan ujung? Bukankah itu orang Perumahan
Teratai V atau VI ujung, bukan keluarganya yang tinggal di Perumahan Teratai IV
ujung? Tapi kenapa banyak tetangga
yang datang ke rumah dengan memakai busana yang rapi layaknya pergi ke sebuah
acara keagamaan?
Semakin mendekati rumah, langkah ibu semakin bergetar. Dan sesampainya di depan
rumah, ibu benar-benar lemas, tak kuasa menegakkan kaki, lalu terduduk begitu
saja di teras rumah. Karena
dari teras itu,
ia melihat sekujur tubuh berbalut kain putih.
Duhai, siapakah itu? Adakah itu si bungsu kesayangannya karena anaknya yang
lain tampak duduk di samping-sampingnya? Kalau iya, kenapa harus dia? Bukankah dia belum mendapatkan ucapan selamat
dari ibunya? Bukankah dia juga belum merayakan prestasi belajarnya itu bersama
ibu dan keempat kakaknya? Dan bukankah ia belum sempat melihat kain putih yang
ia minta pada ibunya?
Ya Tuhan, adakah permintaan itu sebagai pertanda bahwa ia akan memakai kain
kafan putih itu? Adakah niat berjilbab itu yang menjadi alasan-Mu memanggilnya,
ingin menjaga niat sucinya? Dan adakah nazar itu menjadi amal tersendiri di
mata-Mu?
Sementara dari dalam rumah, Anto, Adi, dan Rudi yang melihat kedatangan ibu mereka, langsung
berlari hingga larut dalam
tangis dan peluk ibu mereka.
“Kiki, Bu.... Kiki....” adu Anto yang tak kuat menahan tangis.
Kiki. Ya, Kiki. Dialah si pemilik tubuh berbalut kafan itu. Dia yang satu setengah
jam lalu baru saja mengantarkan seluruh tabungannya ke masjid yang ada di
seberang jalan sebagai bentuk pemenuhan nazarnya jika meraih ranking, tertabrak truk yang melaju
cepat di tikungan.
Anehnya, meski
tubuhnya terpental sejauh lebih dari lima meter, tak ada luka memar atau pun luka
berdarah di sekujur tubuhnya. Ia pun meninggal seketika dengan senyum yang merekah
penuh ketenangan.
Sementara ibunya yang kemudian diberi tahu kronologi itu, hanya bisa lemas,
larut dalam sujud. Ia ikhlas melepas matahari dalam hidupnya itu terbenam, dan
ikhlas pula melepas pekerjaan meski orang yang memintanya kini telah tiada.
¯¯¯
Tidak ada komentar:
Posting Komentar